Virus Islamophobia di Balik Wacana Pembubaran MUI

Wacana Pembubaran MUI
Wacana Pembubaran MUI
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Zaini Bisri, jurnalis senior dan dosen Universitas Pancasakti Tegal.

Hajinews.id – WACANA pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencuat setelah penangkapan tiga orang ulama oleh Densus 88 Antiteror. Mereka adalah Ustadz Farid Ahmad Okbah, Ahmad Zain an-Najah, dan Anung al-Hamad. Dua di antaranya adalah anggota Komisi Fatwa MUI, yakni Ahmad Zain an-Najah yang merupakan anggota Komisi Fatwa MUI Pusat dan Farid Ahmad Okbah sebagai anggota Komisi Fatwa MUI Kota Bekasi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Berbagai dugaan dan analisis terkait latar belakang penangkapan itu pun mengemuka. Misalnya, dilihat dari modusnya, penangkapan itu dilakukan untuk mencegah penyebaran informasi yang dapat menurunkan kredibilitas pemerintah. Modusnya sama dengan pencidukan oleh Densus 88 sebelumnya terhadap Sekretaris Umum FPI Munarman di rumahnya, Pamulang, Tangerang Selatan.

Munarman dituduh terlibat terorisme. Namun, konon, dia ditangkap karena mengetahui siapa dalang di balik pengintaian Habib Riziq Shihab (HRS) dan pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarganya. Kebetulan saat itu juga sedang disusun buku putih tentang tragedi pembantaian enam anggota Laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek.

Polanya hampir sama dengan penangkapan Munarman di tengah dugaan keterlibatan petinggi militer, kepolisian, dan intelijen dalam kasus pembunuhan anggota Laskar FPI. Tiga ulama tadi ditangkap di tengah intrik seputar pengangkatan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan KSAD Jenderal Dudung Abdulrachman.

Ada juga dugaan bahwa penangkapan ulama tersebut untuk pengalihan isu seputar bisnis PCR, yang disebut-sebut melibatkan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan serta Menteri BUMN Erick Thohir. Perkembangan terakhir, Erick menyebut nama Presiden Joko Widodo sebagai salah satu pembuat kebijakan penetapan PCR untuk syarat pengguna transportasi umum.

Stigmatisasi

Penangkapan ulama anggota Komisi Fatwa MUI memancing berbagai reaksi, termasuk kalangan yang memanfaatkan momen ini untuk menyerukan pembubaran MUI. Ini adalah gelombang kedua kemunculan sikap anti-MUI, menyusul kasus “Al-Maidah ayat 51” dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2012 yang dianggap menjegal Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Pencidukan tiga ulama terkait terorisme itu membentuk stigmatisasi atas tuduhan radikalisme yang konon sudah merasuk ke tubuh MUI. Radikalisme di sini dipahami sebagai sikap kritis sejumlah pimpinan MUI baik di pusat maupun daerah terhadap pemerintah. Rupanya, ada pihak-pihak yang merasa gerah dengan vokalnya sejumlah tokoh MUI, ditambah kaitannya dengan fatwa MUI sebelumnya.

Fatwa dimaksud adalah Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang pengharaman atribut non-muslim dipakai oleh muslim. Fatwa ini terkait maraknya pemakaian atribut Natal oleh pegawai muslim di pusat-pusat perbelanjaan, seperti swalayan dan mal. Korelasi ini mungkin tidak sepenuhnya betul, namun juga tidak terabaikan. Misalnya, kenapa Staf Ahli Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo ikut-ikutan mendukung wacana pembubaran MUI.

Stigmatisasi terhadap MUI sebagai organisasi puncak yang mewakili kalangan ulama dan tokoh-tokoh organisasi Islam bisa jadi merupakan target berikutnya yang penting, menyusul pembubaran HTI dan FPI. Jika HTI dan FPI dianggap sebagai ormas Islam yang parsial, bahkan mungkin dicap sebagai “kelompok sempalan” (splinter group) di tengah mayoritas umat Islam Indonesia yang moderat, MUI adalah representasi dari kepemimpinan umat Islam Indonesia.

Karena itu, kalau MUI berhasil dibubarkan, maka tidak ada lagi ormas pemersatu umat Islam yang boleh mengatasnamakan Islam di Indonesia. Tidak ada lagi organisasi ulama yang fatwanya mengikat seluruh komunitas Islam di Indonesia. Tinggal Muhammadiyah dan NU sebagai organisasi sosial dan keagamaan yang fatwanya hanya mengikat para anggotanya.

Jelaslah kenapa MUI menjadi sasaran stigmatisasi untuk dibubarkan, karena lembaga ini bertugas memberikan petunjuk moral kepada umat dalam menghadapi perkembangan zaman. Pandangan dan fatwa-fatwanya mencakup seluruh bidang kehidupan, karena Islam mengatur segalanya, termasuk yang terkait dengan kehidupan kenegaraan dan hubungan antarumat beragama.

Wajar jika fatwa MUI terkadang menimbulkan gelombang reaksi yang besar. Misalnya, saat dulu MUI dipimpin oleh Buya Hamka mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam mengucapkan Selamat Natal dan menghadiri perayaan Natal bersama. Buya Hamka akhirnya memilih mundur sebagai Ketua Umum MUI pada 19 Mei 1981, karena merasa ditekan oleh menteri agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *