Antara Palu dan Manado

Palu dan Manado
Syaiful Bahri Ruray, Mantan Ketua Umum HMI Cabang Manado.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Syaiful Bahri Ruray, Mantan Ketua Umum HMI Cabang Manado.

Hajinews.id – Tarik-menarik saling merebut pengaruh sebagai tuan rumah Munas Kahmi XI masih terus berlangsung antara Sulawesi Tengah atau Sulawesi Utara. Sejumlah pihak diminta masing-masing pendukung tuan rumah untuk menyampaikan dukungannya. Mulai gubernur, bupati dan tokoh masyarakat diminta dukungannya. Salah satunya Ahmad Ali, Ketua Fraksi Nasdem DPR RI. Di mata saya, sosok Ahmad Ali wajib baginya mendukung kota Palu Sulawesi Tengah sebagai tuan rumah Munas Kahmi XI. Justeru aneh jika beliau mendukung wilayah lain di luar Palu, daerah kelahirannya. Selain itu, ia adalah alumni HMI Palu dan Sulteng adalah dapil politiknya. Nakh, Manado yang ada di ujung utara pulau Sulawesi adalah terra icognita, daerah ujung, limit teritorial negara tempat dimana pertarungan dakwah syiar Islam yang menjadi elan vital misi HMI/Kahmi didakwahkan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mengapa Sulawesi Utara? Karena wilayah ini didiami oleh mayoritas kaum Nasrani terbesar di timur Nusantara. Walikota Manado sendiri adalah seorang warga keturunan beragama Khong Hu Chu. Mungkin ia adalah walikota Khong Hu Chu pertama di Indonesia yang memimpin sebuah wilayah dengan basis Kristen Protestan dominan. Ia juga seorang lulusan Amerika Serikat, yang pulang ke Indonesia, saat Indonesia dilanda krisis moneter 1998, karena dampak resesi global 1987 tersebut.

Memang saat Indonesia dilanda “krismon” banyak terjadi exodus warga keturunan dan seluruh kapitalnya dari Indonesia, termasuk usaha ekonomi warga keturunan di daerah-daerah hengkang ke Singapura dan Amerika membuat ekonomi di daerah jatuh bangkrut. Namun Andre Angkouw, adalah fenomena terbalik. Ia justeru balik ke Indonesia dan melanjutkan proyek milik orang tuanya yang mangkrak di Wanea, Manado, yaitu mall dan hotel Grand Puri. Di tangan dinginnya, proyek tersebut kembali bangkit, bahkan sempat menjadi icon kota Manado dalam proses pemulihan ekonomi kota Manado pasca krisis.

Teman saya saat kuliah, Ronny Inkiriwang di daulat menjadi manager hotel tersebut. Saya sering mendapat discount jika menginap bersama keluarga disana. Karena seorang Chef-nya putra Loloda Maluku Utara dan makanannya halal.

Sebagai wilayah terra incognita bagi KAHMI, memang menjadi sesuatu yang baru, karena di Manado, baru saja diresmikan Museum Holocaust, untuk mengenang 6 juta kaum Yahudi Eropa, yang tewas di kamp konsentrasi Jerman selama Perang Dunia II (1939-1945) tersebut. Padahal tak ada hubungan sejarah Holocaust dengan sejarah Sulawesi Utara. Cuma karena keterikatan emosional kaum Kristiani semata saja dengan Yahudi yang lebih dekat dengan Israel seakan memacu memori kolektif kita untuk kembali membuka halaman kitab sejarah, bahwa Holocaust adalah ethnic cleansing, yang hingga sekarang, dunia belum berhenti dari praktek rasisme tersebut.

Ada catatan kelam tentang Etnis Armenia di bawah Ottoman (1918), ada perlakuan kasar dan kabares, bahkan cultural violence atau cultural genocide, dari Turki modern terhadap bangsa Kurdistan, yang notabene adalah anak turunan Salahuddin Al Ayyubi, sang pembebas Baitul Maqdis (Jerusalem), dan ada juga pembantaian Balkan dari Pasukan Serbia terhadap Muslim Bosnia (1992-1996) yang sangat keji dalam ukuran peradaban dan hak azasi.

Di Asia, masih ada catatan kelam, sebut saja Bangsa Tibet dan Dalai Lama yang terusir sejak 1950-an tersebut, dibawah kekuasaan Mao Tze Tung. Kamboja juga menyisakan tragedi berdarah, atas nama re-edukasi, regime Pol Phot (Khmer Rouge alias Khmer Merah), membantai 3 juta warganya sendiri tanpa rasa risih. Kini masih berlangsung hal serupa pada Muslim Uyghur, dibawah Beijing. Sementara tetangga kita, junta militer Myanmar, dengan mayoritas Budhisme masih membantai etnis Rohingya, yang dianggap sebagai kelompok Liyan (mereka), bukan “kita.” Dan paling akhir adalah ketika seorang mahasiswi di negara bagian Uttar Pradesh yang dibuli karena berjilbab ke kampusnya. Larangan jilbab mulai meluas di sejumlah negara bagian. Diskriminasi rezim PM. Modi dengan partai Baratiya Janata-nya ini telah mengundang kekhawatiran dunia atas nasib 13 persen Muslim dari 1,35 milyar penduduk India yang mayoritas Hindu.

Apa artinya semua ini bahwa dunia kita masih terfragmentasi dan terkotak- kotak pada rasisme dan politik identitas yang menjadi ruang bagi kemunduran peradaban manusia. Fukuyama telah setengah berteriak akan hal tersebut bahwa dunia demokrasi sedang sekarat karena maraknya politik identitas, politik kebencian yang semakin marak terjadi pada dekade terakhir ini. Steven Lwvitsky dan Daniel Ziblatt, bahkan menulis serius tentang tanda-tanda matinya demokrasi. “Dunia tengah memasuki senjakala demokrasi,” kata Prof.Jean Couteau, ilmuan Perancis, yang menetap di Bali ini. Tidaklah mengherankan, jika Islam, jauh hari telah menandai akan ajaran dasar keragaman sosiologisnya, berbasis pada surat Al Hujarat ayat 13 bahwa keragaman adalah sebuah keniscayaan.

Sikap monolitik, memang sedikit aneh dalam perpsektif Islam. Bahkan bukan hanya Islam, jauh sebelum Islam datang, Abraham telah melakukan praktik keragaman, dimana 3 ajaran besar agama langit mengamininya. Bahkan sejarawan Yuval Noah Harari, menarik jauh peradaban ke belakang sebelum era Abraham. Pada titik ini Manado menjadi titik masuk pertarungan antara Kahmi yang mencitrakan mengemban dakwah Islamiyah yang humanis, toleran dan inklusif terhadap keberagaman. Inilah medan dakwah yang sesungguhnya, untuk menjawab keresahan Fukuyama, Levitsky & Ziblatt, juga Jean Coteau di atas.

Ketika dukungan terhadap Munas XI Kahmi, bukannya ramai bergulir dari kantong-kantong basis Muslim, atau senior HMI dan Kahmi, namun berdatangan dari pihak tokoh non-muslim menjadi dasar pemikiran bagi Kahmi inilah momentum yang tepat untuk menyebar nilai-nilai Islam rahmatan li al-‘âlamîn di wilayah mayoritas non-muslim.

Fenomena ini, jelas tak ditemukan pada kandidat kota-kota atau daerah lain di Indonesia,l yang akan ditetapkan sebagai tuan rumah Munas XI Kahmi 2022. Sebutlah Palu, Malang, Surabaya atau Mataram adalah daerah yang saya anggap sudah “kenyang” dengan siraman dakwah Islam tinimbang Manado di Sulawesi Utara yang membutuhkan tetesan embun dakwah Islamiyah. Karena di wilayah seperti di Manado Sulawesi Utara ini akan terasa efek kejut dan daya magis mission sacree Islam jika berbondong-bondong para alumni HMI dari seluruh Indonesia menghadiri agenda 5 tahunan Kahmi tersebut di Bumi Nyiur Melambai, Sulawesi Utara.

Pernyataan dukungan dari pimpinan daerah, tokoh lintas agama, aktivis pemuda dan organisasi sosial di Sulawesi Utara merupakan wujud keterbukaan mereka menerima saudara-saudara mereka delegasi Kahmi se-Nusantara berkenan datang ke tanah Minahasa. Disinilah tempat pembuangan dan tempat peristirahatan terakhir para ulama, mujahid sekaligus pahlawan nasional Indonesia.

Di tengah maraknya politik identitas dan ujaran kebencian, meminjam frasa Fukuyama (Identity and Politics of Resentment), konsolidasi keindonesiaan kita melalu Munas Kahmi XI di Manado menjadi tuntas. Sebab, sebuah bangsa, yang berdiri di atas puing-puing 73 kerajaan lokal se-Nusantara (yang diobrak- abrik oleh kolonialisme) ternyata imagine community ala Ben Anderson belum selesai. Prof. Mahsun, seorang liungist, yang juga Ketua Kahmi NTB, menawarkan pendekatan genoliungistik, sebagai sebuah instrumen untuk membenahi Indonesia. Bagi HMI dan KAHMI, “bahasa Indonesia” sebagai satu bahasa telah selesai pada momentum Sumpah Pemuda 1928, namun “bahasa tentang Indonesia” belum selesai. Kahmi harus datang di Sulawesi Utara untuk mendengar genolingusitik orang Sulawesi Utara tentang Indonesia.

Menutup catatan ini, saya ingin mengingatkan kita semua keluarga besar Kahmi bahwa nawaitu awal Lafran Pane saat mendirikan HMI. Pertama kali ia meletakkan Indonesia terlebih dahulu baru syiar Islam. Alasannya, wadahnya harus ada lebih dulu, barulah wadah tersebut diisi dengan syiar dakwah. Kini terpulang ke Majelis Nasional Kahmi, apakah mau menjadi motor penggerak konsolidasi keislaman dan keindonesiaan di wilayah yang jauh dari pusat peradaban Islam dan memperkenalkan Islam sebagai rahmat bagi semua komunitas bangsa yang pluralistik ataukah sekedar rutinitas lima tahunan karena tuntutan Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga semata!

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *