Kompak, Mayoritas Warga NU Tolak Pemilu Ditunda, Warga Muhammadiyah Lebih Banyak Lagi

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, Hajinews.id — Wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus bergulir. Sejumlah partai politik (parpol) seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Gerindra, hingga Partai NasDem sudah tegas menolak wacana yang digulirkan oleh Ketua Umum (Ketum) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar itu. Meski pada saat yang sama ada juga yang mendukung wacana itu. Seperti Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto hingga Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.

Sementara di kalangan petinggi ormas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Yahya Cholil Staquf menilai wacana penundaan pemilu 2024 itu masuk akal untuk dilakukan. “Ada usulan penundaan pemilu dan saya rasa ini masuk akal mengingat berbagai persoalan yang muncul dan dihadapi bangsa ini,” kata Kiai Staquf saat mengunjungi korban gempa di Pasaman Barat, Sumatera Barat, beberapa waktu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Namun pada saat yang sama, sebagian besar warga Nahdatul Ulama (NU) justru menolak wacana itu. Mayoritas warga NU justru ingin pemilu tetap diselenggarakan pada 2024. Hal itu setidaknya tercermin dari survei yang dilakukan lembaga Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada 25 Februari – 1 Maret 2022. “Sekarang coba kita cek basis masa masing masing. Orang yang berasa dekat dengan NU-nya, meskipun Ketua PBNU-nya merasa bahwa penundaan pemilu masuk akal, namun 71,3 persen warga NU mengatakan pemilu tetap harus diadakan 2024,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam webinar yang diselenggarakan Masyarakat Ilmu Pemerintah Indonesia (MIPI), Sabtu (5/3).

Tak hanya dari warga NU, penolakan juga datang dari warga Muhammadiyah. Menurut Burhan, dari hasil surveinya, jumlah warga Muhammadiyah yang menolak penundaan pemilu bahkan lebih banyak lagi. Burhan menjelaskan sebanyak 80,7 persen warga Muhammadiyah ingin pemilu tetap diselenggarakan pada 2024 mendatang. “Coba kita cek basis partai, kita punya pertanyaan pemilu legislatif 2019 kemarin milih partai mana, 9,7 persen responden kami memilih PKB, hampir 70 persen pemilih PKB sendiri juga tidak setuju dengan klaim ketua umumnya, Cak Muhaimin,” tegasnya.

Begitupun dengan pemilih PAN, tercatat ada 81,9 persen yang menolak penundaan pemilu. Menurut Burhanuddin, temuan ini cukup luar biasa. “Pemilih PAN ini luar biasa, bahkan aspirasi penundaan pemilu seperti yang disuarakan oleh Pak Zulkifli Hasan hanya direspons positif 13 persen oleh basis massa mereka,” ucapnya.

Senada dengan PKB dan PAN, pemilih Partai Golkar mayoritas juga tak setuju penundaan pemilu berdasarkan survei IPI. “Kemudian Golkar 57 persen pemilihnya mengatakan sebaiknya pemilu diadakan di 2024, dan hanya sedikit, minoritas, memilih ditunda hingga 2027,” lanjutnya.

Burhanuddin mengatakan, apa pun isu yang ditawarkan kepada masyarakat, itu tidak populer bahkan dari partai pendukungnya. Mayoritas masyarakat Indonesia tetap setuju pemilu sesuai jadwal. “Intinya, kalau di sini semua alasan tadi, mau alasan pandemi, mau alasan pemulihan ekonomi, mau alasan pembangunan IKN, itu tiga-tiganya tidak mampu mengalihkan atau mengubah sikap responden dan ide perpanjangan tadi ditolak secara multipartisan,” imbuhnya.

Dari hasil survei itu, kata Burhan, publik patut mempertanyakan sikap para elit. Sebab, mayoritas massa dua ormas besar, yakni NU dan Muhammadiyah, maupun pemilih parpol yang mewacanakan isu itu ternyata menolak penundaan pemilu. Ia pun menyarankan para elite parpol agar tidak lagi mengeluarkan ide yang justru malah memantik kontroversi dan pembelahan secara sosial politik. “Seharusnya dalam politik demokrasi yang didasarkan pada fungsi agregasi kepentingan publik dan aspirasi warganya, elite mengikuti apa yang diinginkan warganya,” kata Burhan.

Kata Burhanuddin, kalau warganya taat konstitusi, para elite parpol harus lebih taat lagi kepada konstitusi. “Jangan memberi contoh yang tidak baik kepada warga, apalagi kita dalam kondisi pandemi, sebaiknya kita mendukung kinerja Presiden Jokowi untuk memulihkan pandemi ini. Jangan mengeluarkan ide yang bertentangan dan justru akan memantik kontroversi dan pembelahan sosial politik yang lebih tajam, ujung-ujungnya justru akan mengganggu agenda pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah,” ujarnya.

Senada dengan Burhan, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengingatkan elite politik agar tak bermain-main dengan wacana penundaan pemilu. Sebab, hal tersebut akan berdampak langsung kepada wacana perpanjangan masa jabat presiden yang dapat menjadi pintu masuk otoritarianisme. “Bermain-main dengan masa jabatan itu melanggar prinsip konstitualisme, melanggar juga prinsip demokrasi, sistem presidensial, dan itu yang membuat sering kali pintu masuk atau jebakan ke arah otoritarianisme,” ujar Zainal.

Wacana tersebut dapat terealisasi jika elite-elite partai politik yang mendukungnya setuju untuk melakukan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Jika hal tersebut terjadi, ada alasan bagi mereka untuk memperpanjang masa jabatan dengan alasan taat konstitusi. “Ide-ide untuk memperpanjang masa jabatan umumnya muncul di negara-negara tidak demokratis atau negara yang tidak menjadi contoh baik dalam demokrasi,” ujar Zainal.

Ia menceritakan, banyak cerita kelam di berbagai negara yang melakukan praktik perpanjangan masa jabatan pimpinannya. Hal terburuk, dualisme di kursi pemerintahan akan terjadi yang berujung pada kudeta yang dilakukan oleh salah satu pihak. “Contoh misalnya Guinea yang di ujungnya akhirnya Guinea itu mengalami kudeta militer. Presiden yang memperpanjang masa jabatannya untuk tiga periode itu mengalami kudeta militer,” ujar Zainal.(dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *