Anomali Survei Kepuasan terhadap Sang Presiden

Anomali Survei Kepuasan terhadap Sang Presiden
Dr. Despan Heryansyah, SH, MH peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Despan Heryansyah, SH, MH peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta
Hajinews.id – Jajak pendapat atau survei yang belakangan marak dilakukan utamanya untuk menilai bagaimana respons publik terhadap kondisi atau kebijakan tertentu dari pemerintah adalah suatu progres peradaban yang patut diapresiasi. Jajak pendapat membantu pemerintah, masyarakat, pasar, dan seluruh komponen bernegara dalam memprediksi gejala. Dengan metodologi yang tepat, analisis yang jujur dan objektif, sampel jajak pendapat dapat secara persis mewakili populasi. Ibarat menguji sayur segentong, tak perlu menelan semua gulai dalam belanga, dua-tiga sendok saja bisa mewakili seluruh isi belakang itu.

Hasil jajak pendapat teranyar yang cukup menghebohkan publik adalah survei kepuasan terhadap Presiden Jokowi, yang dalam jangka waktu tertentu secara rutin diselenggarakan oleh lembaga survei. Hasil survei menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Presiden Jokowi berada di kisaran angka 70 persen berdasarkan sejumlah sigi terakhir. Survei Indikator Politik Indonesia yang dihimpun 15 Januari hingga 17 Februari mencatat sebanyak 71 persen responden mengaku puas atas kinerja Jokowi. Sigi ini melibatkan 626 responden yang mengisi kuesioner secara daring. Margin of error survei sekitar 4 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Selain itu, survei Divisi Penelitian dan Pengembangan Kompas pada akhir Januari lalu mencatat kepuasan publik terhadap pemerintah Jokowi mencapai 73,9 persen. Ini adalah hasil kepuasan tertinggi yang terjadi sejak Presiden Jokowi dilantik untuk periode kedua. Barangkali, ini juga yang menjadi dasar munculnya wacana penundaan pemilu yang belakangan digulirkan oleh beberapa partai politik pendukung pemerintah. Wacana yang hanya menghabiskan energi dan menunjukkan bagaimana buruknya syahwat politik pihak yang menggulirkannya.

Melihat Realitas

Dua lembaga survei yang melakukan survei ini sudah tidak diragukan lagi kapasitas dan objektivitasnya. Namun, membaca hasil survei cukup mengerutkan kening jika kita melihat realitas kehidupan bermasyarakat setiap harinya; ada anomali, ada ketimpangan yang sangat tinggi antara tingkat kepuasan dengan kenaikan harga bahan pokok, kekerasan yang dilakukan oleh aparat, memburuknya kebebasan sipil, absennya partisipasi publik dalam berbagai kebijakan negara, dan lain sebagainya. Tulisan ini hendak menunjukkan beberapa fakta yang bertentangan dengan hasil survei di atas, yang barangkali diabaikan dan tidak dielaborasi saat proses pelaksanaan survei.

Pertama, problem sosial kemasyarakatan masih marak terjadi, khususnya dalam hal perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menguatnya konservativisme beragama di banyak daerah yang kerap berujung pada persekusi kelompok agama tertentu adalah potret nyata gagalnya negara dalam melakukan pemenuhan hak tersebut. Riset Setara Institut mencatat sepanjang 2020 terjadi 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 422 tindakan. Belum lagi lemahnya perlindungan terhadap kebebasan sipil, ada banyak warga negara yang dikriminalisasi untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat mereka.

Kedua, harga barang pokok yang tidak saja melambung tinggi tapi bahkan beberapa di antaranya mengalami kelangkaan. Kelangkaan minyak goreng yang dirasakan masyarakat pada satu sisi dan penimbunan hingga jutaan liter yang dilakukan oleh ritel juga merupakan bukti lemahnya negara. Kelangkaan minyak goreng ini bahkan sudah menelan korban jiwa, namun sampai hari ini belum berhasil diselesaikan.

Setali mata uang, adalah kelangkaan Bio Solar yang dialami hampir seluruh wilayah di luar Jawa. Di Sumatera, wilayah yang menghasilkan kepala sawit dan minyak bumi tertinggi di Indonesia, mengalami kelangkaan bio solar hampir diseluruh SPBU. Belum lagi harga telur, daging, dan kedelai yang terus melambung menjelang bulan Ramadhan.

Ketiga, kebijakan yang memberatkan masyarakat. Belakangan ini muncul kebijakan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dan juga persyaratan keikutsertaan BPJS untuk berbagai penikmatan hak lain semisal hak atas pendidikan, pelayanan publik, dan lain sebagainya. Pemerintah memutuskan pencairan JHT baru dapat dilakukan setelah seseorang berusia 56 tahun –beruntung kebijakan yang lemah keberpihakan ini segera dibatalkan.

Sedangkan, kebijakan lain terkait dengan persyaratan keikutsertaan BPJS untuk melakukan jual beli tanah, mendapatkan pendidikan, dan berbagai pelayanan publik lainnya masih tetap berlaku, sekalipun sudah mendapatkan kecaman yang sangat keras dari masyarakat. Kesalahan dalam menempatkan peran negara dalam interaksinya dengan warga negara sebagai pemilik hak, adalah muara dari kebijakan BPJS ini.

Keempat, absennya partisipasi publik dalam banyak kebijakan negara. Sebagai negara yang menganut kedaulatan rakyat, sekalipun mengadopsi demokrasi perwakilan, tidak berarti peran langsung atau keikutsertaan warga negara dalam kebijakan publik dihilangkan sepenuhnya. Partisipasi masyarakat masih tetap dibutuhkan, dan bahkan menjadi legitimasi atas kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Sayangnya, dalam banyak kebijakan terakhir, partisipasi masyarakat ini absen, misalnya kita dapat melihat dari bagaimana UU Ibu Kota Negara (IKN) disahkan, UU KPK, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, UU Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya.

Kelima, angka korupsi yang semakin memburuk, baik dari aspek kelembagaan KPK, maupun dari penegakan hukumnya. Riset Transparancy International mencatat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2021 berada diperingkat ke-96 dari 180 negara dengan skor 38. Belum lagi problem penegakan yang masih cukup mencemaskan, terakhir Mahkamah Agung menyunat hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan menjadi 5 tahun penjara. Tren pengurangan masa hukuman oleh Mahkamah Agung ini menjadi semakin marak belakangan.

Lima kondisi di atas, yang masih terus terjadi hingga hari ini merupakan anomali atas hasil survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga. Bagaimana mungkin indeks kepuasan tidak berjalan lurus dengan fakta yang ada di lapangan. Kejadian ini, sekaligus mengingatkan kita bahwa hasil survei sebetulnya tidak perlu berlebihan ditanggapi, karena memang tidak selamanya menggambarkan apa yang sesungguhnya ada.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *