Penundaan Pemilu dan Kudeta Kekuasaan

Penundaan Pemilu
Jamaludin Ghafur, Dosen HTN dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Jamaludin Ghafur, Dosen HTN dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)

Hajinews.id – ISU mengenai penundaan pemilu telah menyedot perhatian khalayak seantero Nusantara. Hal ini dapat dipahami sebab ditinjau dari perspektif kedaulatan rakyat, boleh dibilang pemilu adalah momentum satu-satunya di mana suara atau pilihan warga begitu berharga karena bersifat mengikat. Di luar pemilu, suara rakyat seringkali hanya dijadikan bahan pertimbangan yang tidak mengikat oleh pemerintah.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Di antara sekian banyak fungsi pemilu, yang terpenting adalah ia merupakan sebuah mekanisme untuk melaksanakan pergantian kepemimpinan secara damai. Dari sudut pandang demokrasi, suksesi kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan sebab seorang pemimpin dipilih tidak dimaksudkan untuk berkuasa selamanya, tetapi kepemimpinan yang dibatasi oleh periode waktu.

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatur bahwa pengisian jabatan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif harus dilakukan secara periodik setiap 5 tahun sekali. Bahkan khusus untuk lembaga kepresidenan, Pasal 7 UUD 1945 membatasi seseorang hanya boleh menduduki jabatan ini maksimal dua periode.

Begitu urgennya suksesi kepemimpinan, tidak heran bila para teoritisi demokrasi menempatkannya sebagai salah satu kriteria demokrasi yang paling penting dan fundamental dengan argumentasi bahwa dalam sebuah negara demokrasi, setiap warga negara harus diberi hak dan kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan politis.

Ada dua hal penting yang harus dimiliki oleh sebuah kepemimpinan dalam negara demokrasi yaitu: legalitas dan legitimasi. Legalitas merujuk kepada pengertian bahwa cara untuk memperoleh kekuasaan harus berdasarkan hukum dan konstitusi. Sementara legitimasi bermakna kepemimpinan mesti mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat luas.

Untuk menciptakan kepemimpinan yang memenuhi dua kualifikasi tersebut, tidak ada cara lain kecuali harus melalui mekanisme pemilu yang bersifat partisipatif. Pemilu dengan demikian adalah instrumen legal untuk meraih kekuasaan, dan sekaligus sebagai alat pengukur yang sahih untuk menghitung dukungan rakyat sebagai basis legitimasi kekuasaan.

Singkat kata, setiap pemerintahan demokratis yang mentahbiskan dirinya berasal dari rakyat, haruslah terbentuk berdasarkan hasil pemilu. Inilah titik pembeda antara demokrasi dan autokrasi. Dalam demokrasi, pemerintahan sangat bergantung pada dukungan massa karena semua warga negara memiliki hak suara dalam pembentukan pemerintah. Ketergantungan pada dukungan massa ini yang kemudian memaksa pemerintah demokratis untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berbasis pada kepentingan mayoritas rakyat.

Sementara, dalam sistem autokrasi bergantung pada dukungan minoritas karena hanya terdapat sedikit warga terpilih yang diberikan hak suara dalam pembentukan pemerintahan seperti anggota keluarga kerajaan, perwira militer, elite birokrasi, atau elite bisnis. Warga negara lainnya secara formal atau faktual diasingkan dari politik baik karena memang tidak ada pemilu, atau adanya pembatasan hak suara, atau praktik pemilu yang curang, dan atau karena kelompok oposisi ditekan sedemikian rupa.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *