Namun sejatinya, jika melihat tonggak sejarah wakaf yakni ketika Sayyidina Umar bin Khattab menyerahkan kebun kurma di Khaibar dan saat Utsman bin Affan membebaskan sumur Ra’mah untuk dimanfaatkan secara cuma-cuma, maka di situ terselip pesan bahwa apapun itu yang penting wakaf haruslah memiliki makna secara keberlanjutan.
Saat ini, secara umum problematika umat Islam adalah bukan pada persoalan mengakses tempat ibadah, bukan lagi soal mencari tanah pemakaman dan juga madrasah. Maka perlu dipikirkan sektor kehidupan lain yang betul-betul urgen agar dapat didukung melalui perkembangan wakaf ini. Tidaklah berlebihan jika saatnya wakaf mulai masuk ke sektor kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Sehingga, makna produktif dalam wakaf akan sangat kentara sekali implementasinya. Karena melalui 3 sektor kehidupan ini, manfaat berkelanjutan wakaf produktif akan betul-betul sangat dirasakan oleh para mauquf alaih (penerima manfaat).
Oleh karena itu, mari kita jadikan wakaf sebagai kegemaran baru dalam rangkaian ibadah kita. Mengapa? Sebab wakaf selama dia bermanfaat, selama itu pula mengalirkan pahala untuk kita baik saat masih hidup bahkan jika kelak kita sudah ada di alam kubur.