Indra Keberagamaan (19)

berbahasa
berbahasa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Hamdan Juhannis

Hajinews.id – Saya masih “stuck” pada celoteh tentang cara berbahasa kita. Cukup banyak respon dari teman-teman yang lucu tapi bermakna. Sebelumnya, saya perjelas bahwa kedekatan yang saya maksud yang menyebabkan cara berbahasa kita menjadi kasar adalah kedekatan yang setara, tanpa hambatan struktur dan kultur.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ketika saya menutup tulisan, mengertiko semua? Sahabat saya, Dr. Abdul Haris Hamid, menjawab di group chat: Iyo! Kata “Iyo” adalah bentuk kasar dari “iye.” Rupanya Pak Haris sedang memperagakan sebuah jawaban setara dari  pertanyaan yang dianggapnya kasar karena kedekatan. Bahkan teman lain lebih kasar lagi caranya menyikapi teman yang sudah sangat dekat dengan sangat informal ketika memanggil: “woi”, “anu”, atau bahkan “preeet”.

Namun di sisi lain, ada fenomena menarik dari pelajaran Bahasa Indonesia kita. Sebenarnya gerakan penghalusan bahasa sudah dilakukan sejak dulu. Ini yang menjadi diskusi pada  teman-teman yang berada dalam group silaturrahim, Australian National University (ANU). Kebetulan sekali, contohnya kata: “anu”. Kata “anu” mewakili banyak hal yang tidak bisa disebut karena kata itu kasar atau benda itu tabu untuk disebut. Seorang professor Bahasa Indonesia di ANU Canberra, mengabadikan tulisan di pintu ruang kerjanya, “ANUmu bukan ANUku, ANUku bukan ANUmu. Tapi ANUmu dan ANUku sama-sama ANU. Professor ini memainkan dua hal, pertama sebagai singkatan nama perguruan tinggi dan kedua,  tentu dia sangat paham bagaimana kata ini digunakan dalam konteks berbahasa kita di Indonesia.

Penghalusan menurut salah satu teman di group ANU,  terjadi ketika menunjuk profesi kasar atau pekerjaan yang tidak dikehendaki. Pembantu rumah tangga diperhalus menjadi Asisten Rumah Tangga. Pelacur diperhalus menjadi Tuna susila. Orang gila bukannya dipendekkan menjadi Orgil tapi menjadi ODGJ. Gelandangan diganti menjadi tuna wisma, orang cacat disebut difabel, itu kalau di Indonesia. Kalau di Malaysia namanya: Orang yang kurang upaya. Kalau di kita, orang yang kurang upaya namanya: malas.

Itulah,  saya tetap ingin memperkuat tesis bahwa semakin ingin menjarakkan diri dengan sebuah situasi sosial, maka semakin diperhalus cara penyebutannya. Dulu di kampus, Wakil Rektor disebut Pembantu Rektor. Apa bedanya makna dengan pembantu yang ada di rumah Rektor? Karena kerancuhan istilah ini, terjadilah kasus berikut ini.

Seorang Pembantu Rektor yang tinggal di kompeks perumahan. Dia pergi ke pos jaga menyampaikan ke Satpam di kegelapan. Dia mengatakan kalau televisinya dicuri. Satpam tersebut bertanya, anda siapa? Karena tidak bisa menandai mukanya. Dia menjawab saya Pembantu Rektor (Wakil Rektor). Satpam merespon: sudah pembantu, kurang waspada lagi!

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *