LP3ES: Serangan Paling Kuat saat Ini Potensial ‘Membunuh’ Demokrasi

Infografis istimewa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id — Dosen UNDIP sekaligus Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Dr. Wijayanto mengatakan serangan terhadap demokrasi di Indonesia saat ini merupakan serangan paling kuat yang potensial membunuh demokrasi.

Menurutnya, beberapa refleksi mengisyaratkan kondisi aktual demokrasi Indonesia dibanding 1998 yakni Sisi Struktural, Sisi institusional, Sisi Agency, dan Sisi kultural.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sisi Struktural

Dikatakan Wijayanto, pada Sisi struktural, pelemahan nyata KPK dengan revisi UU KPK pada 2019 merupakan salah satu penanda nyata dari oligarki yang telah melakukan konsolidasi demikian cepat sampai dengan 2019. Pelemahan KPK ini sempat dicoba sebelum 2014 dengan operasi Cicak vs Buaya.

Agenda konsolidasi oligarki terus melakukan pembajakan demokrasi secara sistematis, terang Wijayanto, bahkan terjadi pelemahan masyarakat sipil dengan tidak adanya protes-protes terhadap kerapnya kenaikan BBM, dan tidak begitu kuatnya penolakan terhadap UU Ciptaker.

“Kampus juga dilemahkan dengan ancaman sanksi bagi mahasiswa yang melakukan aksi protes. Aktivis yang merapat kepada kekuasaan menjadi catatan lain. Terjadi penggerusan kebebasan pendapat dan kebebasan publik berbicara di ruang publik,” ungkapnya, dalam Diskusi Publik LP3ES – Twitter Space Didik J Rachbini yang bertema, ‘Nasib Demokrasi Setelah 24 Tahun Reformasi’, Ahad (22/5/2022).

Sisi Institusional

Dari sisi Institusional, pemilu yang semula didesain untuk memilih wakil rakyat menurut Wijayanto telah dibajak oleh oligarki hingga menjadikannya penyambung lidah oligarki. Hal itu lantaran pemilu hari ini telah menjadi ajang money politik. Dimana semakin mahal dana yang digelontorkan menjadi penentu kemenangan, dan diperburuk oleh feodalisme yang masih mengungkung partai politik.

Sisi Agency

Sementara dari sisi Agency, Wijayanto menuturkan, pemilu yang memilih wakil-wakil rakyat di parlemen dan para pejabat eksekutif yang semula diharapkan menjadi koridor terdepan dalam memperkuat demokrasi, ternyata malah berbalik menjadi aktor-aktor yang memunggungi demokrasi. Padahal para wakil rakyat dan pejabat eksekutif adalah mereka yang telah dipilih melalui mekanisme demokratis.

Sisi Kultural

Sementara sisi Kultural dinilai Wijayanto demokrasi negeri ini membutuhkan budaya politik yang sehat. Ia juga menyayangkan hal itu belum menjadi kebutuhan yang terdepan di Indonesia. Feodalisme masih menjadi hambatan terbesar elit politik yang menghalangi agenda membangun budaya dialog dan berbeda pendapat.

“Perbedaan pendapat bahkan telah menjadi petaka bagi aktivis yang mencoba berbeda pendapat, sebagaimana yang dialami oleh Haris Azhar dan Fathia. Sementara di akar rumput yang seharusnya menjadi ajang diskusi sehat, terbelah oleh politik identitas Kadrun dan Cebong” katanya.

Wijayanto pun memproyeksikan, ke depan masyarakat sipil amat perlu melakukan konsolidasi diri, dengan mempengaruhi aktor-aktor di partai politik yang berpikiran progresif untuk melakukan perubahan diri masing-masing.

“Terkait Pemilu 2024, ruang publik kita harus dididik untuk tidak melulu melakukan ‘jurnalisme pacuan kuda’ yang amat riuh di pinggir arena tapi tidak mengetahui substansi dari kegiatan tersebut. Publik harus diingatkan untuk menjadikan Pemilu 2024 ke arah tinjauan yang lebih substantif,” tambahnya

Wijayanto menyebut, kesadaran untuk melihat kebijakan politik yang terus menerus terjadinya eksploitasi terhadap alam dan sumber daya alam, seperti yang terjadi pada area Wadas dan di lain tempat. Bagaimana cara politik dan keputusan politik dapat menjinakkan oligarki, menghentikan politik uang, perjuangan gender, dan lainnya. Ia menghimbau masyarakat sipil ini harus didorong ke tema percakapan-percakapan ke hal-hal yang lebih substansial.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *