Muhammadiyahfobia

Muhammadiyahfobia
Prima Mari Kristanto
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Prima Mari Kristanto

Hajinews.id – Belum reda ingatan warga Muhammadiyah atas kekerasan yang dialami saudaranya di Cluring Banyuwangi, muncul kejadian serupa di Bireun Nangroe Aceh Darussalam. Dikabarkan oleh beberapa media, tidak terkecuali media-media Muhammadiyah, perihal penyitaan material Masjid Taqwa Muhammadiyah yang terletak di Desa Sango, Samalanga, Bireuen, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bireun pada 12 Mei 2022.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Penyitaan beragam material menindaklanjuti pembongkaran atas tiang-tiang bakal pendirian masjid yang sebelumnya telah mengalami banyak gangguan dan ancaman, bahkan pembakaran. Tindakan Satpol PP disebutkan atas perintah bupati setelah mendapat tekanan dari pihak yang tidak berkenan dengan berdirinya masjid Muhammadiyah di daerah tersebut.

Tindakan Satpol PP mengingatkan pada kegiatan razia pada pedagang kaki lima yang setelah berkali-kali diperingatkan tetap nekat berjualan. Atas kejadian tersebut Satpol PP biasanya mengangkut lapak-lapak pedagang agar tidak lagi berjualan karena perlengkapannya disita.

Satpol PP sering berdalih para pedagang kaki lima yang susah ditertibkan mengganggu kenyamanan dan keindahan kota. Yang sering juga dimasalahkan dalam razia pedagang kaki lima oleh Satpol PP adalah keberadaannya seringkali tanpa badan hukum atau biasa disebut sektor informal. Memperlakukan aset Muhammadiyah yang berbadan hukum sebagaimana aset sektor informal jelas suatu kesalahpahaman bahkan gagal paham.

Kejadian di Bireun Aceh dan di Banyuwangi Jawa Timur memiliki pola yang hampir sama yaitu adanya bantuan dari aparat pemerintah pada kelompok intoleran yang mengganggu aset Muhammadiyah. Jika kejadian di Banyuwangi melibatkan oknum aparat  tingkat desa dan kecamatan, di Bireun melibatkan oknum aparat tingkat kabupaten.

Aparat pemerintah yang seharusnya menegakkan hukum memfasilitasi kelompok intoleran yang tidak berbadan hukum mengganggu kelompok yang berbadan hukum. Profesionalisme aparat pemerintah sangat diperlukan untuk meredam konflik horizontal karena sikap netral saja tidak cukup. Keberpihakan pada hukum yang adil dan telah disepakati bersama sebagai bentuk sikap netral yang profesional.

Kejadian di Bireun Aceh dan di Banyuwangi Jawa Timur adalah sebagian kecil dari banyaknya kasus penolakan, gangguan, kekerasan bahkan kekejaman yang dialami warga Muhammadiyah. Pihak terkait di jajaran Pimpinan Muhammadiyah tingkat pusat sampai wilayah bahkan daerah memiliki data-data kekerasan pada aset maupun warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Kejadian kekerasan pada aset  dan warga Muhammadiyah oleh kelompok intoleran tidak bisa dianggap kecil.

Banyaknya kasus serupa layak dinamakan Muhammadiyahphobia yang hanya terjadi di Indonesia. Masyarakat muslim di luar Indonesia atau muslim di Indonesia tetapi bukan warga Muhammadiyah pasti tidak merasakannya. Istilah Muhammadiyahphobia barangkali terkesan “baper” atau “cemen”, tetapi jika tidak disuarakan terus-menerus beragam kekerasan dan kekejaman pada aset dan warga Muhammadiyah akan dianggap “wajar”.

Dunia mengenal Islamofobia, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti-Islamofobia. Pengakuan dari PBB tersebut menunjukkan bahwa Islamophobia benar-benar ada, bukan mengada-ada. Selama ini banyak terjadi dualisme terhadap aktivitas yang berhubungan dengan umat Islam, diskriminasi kerap menimpa umat Islam.

Ketika ada seniman membuat lukisan atau komik bernada menghina umat Islam dan nabinya dianggap bagian dari hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan sebagainya. Sementara jika ada umat Islam yang berusaha menuntut haknya seperti di Palestina disebut kelompok radikal.

Makna Islamofobia dan Muhammadiyahfobia

Secara umum pengertian Islamofobia yaitu ketidakadilan, kekerasan bahkan kekejaman yang dihadapi umat Islam dan dilakukan kelompok bukan Muslim. Memasuki abad ke 21 ditengarai Islamophobia meningkat pesat, selain di Palestina banyak kejadian baru menimpa umat Islam di Myanmar, Uyghur, India dan sebagainya. Menjelang akhir abad ke 20 yang lalu tepatnya sekitar tahun 1991 sampai 1992 kekerasan pada umat Islam terjadi di negara Balkan, Bosnia Herzegovina. Di Indonesia juga terjadi peristiwa pilu tahun 1999 Muslim Ambon mengalami kekerasan dari kelompok bukan Muslim.

Syukur alhamdulillah konflik Ambon berangsur mereda, hingga kini Ambon dan Maluku secara umum kondusif. Berakhirnya konflik Ambon secara cepat dan tidak sampai berlarut-larut menunjukkan kekerasan berlatar agama bukan budaya Indonesia. Demikian juga konflik-konflik berlatar agama lainnya yang berlangsung spontan mudah diredakan dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Sikap tegas aparat pemerintah pada kelompok intoleran sebagai kunci penuntasan konflik horizontal berlatar apapun.

Islamofobia yang dikampanyekan oleh umat Islam seluruh dunia terbukti mendapat perhatian badan dunia PBB. Mengkampanyekan Islamophobia bukan perilaku baper apalagi cemen tetapi bagian dari jihad intelektual karena tidak mungkin, tidak zamannya atau belum waktunya jihad menggunakan pedang. Anti-Muhammadiyahfobia tidak ada salahnya dikampanyekan sebagai bagian dari bukti ikatan persaudaraan “innamal mukminuuna ikhwah”. Seluruh orang Mukmin bersaudara dan tanda nyata adanya ikatan saudara adalah ikut merasakan sakitnya jika ada yang sakit sebagaimana satu kesatuan tubuh.

Sangat disayangkan dalam usianya yang menginjak lebih dari satu abad, kehadiran Muhammadiyah mendapat penolakan dari kelompok intoleran, bahkan sebagian besar mengaku Muslim. Kehadiran Muhammadiyah di tengah masyarakat Kristen, Katolik di Papua, NTT, Sulawesi Utara, dan sebagainya tidak dipermasalahkan. Kehadiran Muhammadiyah justru banyak mendapat penolakan di sebagian basis umat Islam, sebagaimana di Banyuwangi Jawa Timur dan Bireun Aceh. Aneh tapi nyata, fakta tapi nyaris sulit dipercaya. Kehadiran masjid Muhammadiyah bukan hanya sarana ibadah, lebih lanjut terbukti bisa menjadi pusat muamalah pendidikan, sosial, kesehatan bahkan perekonomian.

Dengan beragam kiprah Muhammadiyah sejak 1912 sebagai organisasi yang sah sungguh aneh jika masih ada kelompok intoleran yang gerah. Muhammadiyahphobia sebagaimana Islamofobia nyata adanya. Menyuarakan anti-Muhammadiyahfobia setara anti-Islamofobia bukan bermaksud menuntut agar Muhammadiyah dianakemaskan. Lebih utama menjadikan masyarakat Indonesia beserta aparat pemerintah mengerti hukum sebagai panglima keadilan yang sesungguhnya.

Jika aset dan warga Muhammadiyah yang telah berkiprah seratus tahun lebih bisa dilarang-larang hanya dengan “perasaan” tidak senang oleh sekelompok orang, tuduhan-tuduhan tidak benar, penyebab perpecahan, perselisihan dan sebagainya, tentu ormas lain akan mudah diperlakukan demikian.

NKRI harga mati bukan ilusi, Bhinneka Tunggal Ika bukan jargon semata, UUD 1945 bukan sekadar bacaan syarat “sahnya” upacara bendera oleh aparatur negara. Di dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 tertulis kewajiban pemerintah menjamin kemerdekaan hak-hak tiap penduduk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Wallahualambishawab (*)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *