Soal ‘Babiambo’, Ketua MUI Sumbar Beri Komentar Menohok

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id — Ketua MUI Sumbar, Gusrizal Gazahar mengatakan ranah dan rantau “tergagau” dengan keberanian orang menyandingkan rumah makan padang dengan makanan haram.

“Banyak tokoh “meradang” melihat dan membaca kata “babi” bersanding dengan kata “ambo”. Bagi saya mencermati reaksi itu rasa tersentak tali bathin karena tersadar bahwa Marapi dan Singgalang masih tertegak kokoh. Talang dan Kurinci belum lah luluh karena goncangan putaran zaman,” tulisnya dikutip Covesia, Minggu (12/6/2022).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Lebih lanjut Gusrizal mengatakan Singkarak dan Maninjau belumlah kering. Ombak masih berdebur menghempas pantai pesisir Ranah Minang. Keteguhan ciptaan Allah swt tersebut dengan segala keharmonisannya, ternyata masih menjadi tanah kelahiran pewaris DNA perantau berdarah pekat dan tonggak-tonggak tua penghuni ranah yang siap menjaga “sako jo pusako”.

Apakah itu yang dinamakan reaksi atas marwah yang “terawai” atau itu hanya sekadar luapan emosi kesukuan yang dijadikan alasan oleh para buzzer untuk melekatkan gelaran rasisme dan primordialisme.

Menurutnya, bagi siapa yang menjadikan “ukua jo jangko” marwah adalah penguasaan materi dan kursi, tentu sikap “manggarumeh” para tokoh terhadap kasus “Rendang Babiambo” itu, bukanlah menjaga marwah karena tak menonjol aspek materi padanya kecuali dampak kepada brand produk yang selama ini telah identik dengan yang halal.

Ia melanjutkan, memang susah terlepas dari metodologi surau baik dari pangka salam sampai surau kaki piramid sekalipun.

Marwah itu berakar kepada bahasa arab dan orang Minang mengambil kata itu dengan pemahaman yang dibawanya. Bingkainya tetap konsep ABS-SBK-ABSB-SMAM (Adaik Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah, Adaik Bapaneh Syara’ Balinduang, Syara’ Mangato Adaik Mamakai).

Menurutnya, dalam pengajian surau marwah itu mestilah memiliki rukun dan syarat. Bila terpenuhi rukun dan syarat, barulah tegak berdiri marwah tersebut.

“Kaji surau itulah yang menghimpun ‘irdh (kehormatan) dan karamah (kemuliaan) menjadi akar dari marwah,” jelasnya.

Adat Minang yang memimplentasikan petunjuk syari’at membuat alur, ukur, dan jangka bagaimana menjaga akar marwah tersebut dalam sikap dan prilaku.

Dalam Islam kata Gusrizal sikap itu terlahir karena adanya sifat “‘iffah” dalam diri. Sehingga kehormatan yang melekat pada dirinya sebagai manusia dan sebagai muslim berpantang sekali untuk dinodai. Bahkan daya cover sifat “‘iffah” itu juga menjangkau kepada keluarga dan saudara-saudara seiman.

Siapa saja yang kehilangan sifat itu sehingga bersikap kebalikannya, ia disebut “dayyuts”.

Sesungguhnya Rasulullah bersabda, Ada tiga golongan yang diharamkan memasuki surga; pecandu khamar, orang yang durhaka, dan dayyuts yaitu orang yang tak peduli/membiarkan keluarganya melakukan perbuatan keji.” (HR. Ahmad dari Abdullah Ibn ‘Umar ra)

Buah dari menjaga marwah yang berakar dari kata muruàh itu akan melahirkan “‘izzah”.

Jadi, sebenarnya banyak istilah yang dipakai dalam perdebatan tentang marwah namun tidak dipahami sesuai maknanya.

Terkait reaksi “manggaritih” para tokoh dalam menyikapi “babiambo” itu, apakah karena menjaga marwah ? Jawaban husnuzzhannya adalah iya.

“Hakikatnya, biarlah waktu dan sikap akan menjawab pertanyaan itu dan tak perlu tergesa membuat kesimpulan dari berbagai kemungkinan agar jangan sampai jatuh kepada penghakiman terhadap ranah yang tidak dalam jangkauan manusia,”jelasnya.

Setiap kata yang termaktub dalam falsafah itu adalah petunjuk tekhnis pengamalan syara’ tentang tanggung jawab seorang pemimpin di ranah Minang yang menghantarkan dirinya untuk bersedia memikul amanah berat.

Semua tokoh dan pemimpin yang tersentak dengan masalah babiambo ini sangatlah tak patut berhenti dengan terluahnya kata permohonan maaf dari pelaku.

“Saya hanya berharap agar perkokohlah pagaran kampung dan perkuatlah “paga nagari”. Kalau sekali ayam jantan sudah mengipaskan sayapnya dan melompat berkokok nyaring, sudah sepatutnya mengasah susuhnya,”imbuhnya.

Ia menyebutkan sudah saatnya para tokoh Minang memperlihatkan susuhnya dan membulang tajinya untuk suatu pertarungan bermartabat guna mempertahankan marwah agar jangan berulang malu tercoreng di kening.

“Segala yang terkait dengan adat Minangkabau, tak boleh lagi dipisah oleh siapapun dari ruhnya yaitu Islam. Makanan tradisinya harus halal, sikap prilakunya harus syar’i dan simbol budayanya harus Islami,” jelasnya.(dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *