Haji Makrifah: Fenomena Mabrurnya Wuquf ‘Arafah

Haji Makrifah
Fenomena Mabrurnya Wuquf ‘Arafah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Haji makrifah adalah fenomena mabrurnya wuquf saat di ‘Arafah.

Apa itu wuquf dan ‘Arafah?

Wuquf artinya “menahan diri”, “berhenti”, atau “diam”. Dalam Quran misalnya, ada tanda “waqaf”. Maknanya tempat berhenti saat membaca. Harta juga ada yang disebut “waqaf”. Pengertiannya adalah “pembekuan” harta, atau “menahan” untuk tidak melakukan tindakan atas suatu benda, untuk digunakan manfaatnya bagi kebajikan (sosial).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Wuquf saat berhaji juga begitu. Secara terminologis artinya “berdiam diri” di Padang Arafah. Ini salah satu rukun haji. Sebagaimana kata Nabi SAW: “Haji adalah (wuquf di) ‘Arafah”. Tidak ada haji tanpa wuquf di ‘Arafah.

الحجُّ عرفةُ , فمن اَدْرَكَ لَيْلَةَ عرفةَ قبلَ طُلُوْعِ الفَجْرِ من ليلةِ جُمَعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّـهُ.

“Haji itu adalah (wuquf) ‘Arafah, maka barangsiapa yang mengetahui pada malam ‘Arafah, hingga menjelang terbitnya Fajar dari malam berkumpulnya para jama’ah, maka sungguh hajinya telah sempurna” (HR. Muslim)

“Makrifah” (‘Arafah), Sebuah Pengalaman Hakikat dari “Diam” (Wuquf)

Wuquf di ‘Arafah bentuknya sangat simbolik. Haji sendiri penuh simbolisme. Hampir seluruhnya mereplika alur sejarah spiritual Ibrahim as dan keluarga. Malah sangat melelahkan. Kecuali simbol-simbol itu telah dipahami. Sejumlah orang mampu mencapai bentuk replikatif dari pengalaman kenabian. Artinya, ada “rasa” yang diperoleh (enlightement) dari proses itu. Tapi itu tidak serta merta dialami. Ada pra-kondisi yang harus ditempuh sebelum ke haji. Yaitu, “penyucian jiwa” (tazkiyatun nafs).

Haji adalah puncak keislaman, atau perjalanan “berjumpa Tuhan”. Saat jiwa sudah “fitrah” (disimbolkan dengan baju putih ihram), disaat itulah kita ditunggu untuk diterima dan benar-benar diampuni oleh Allah. Kita hanya bisa menjadi tamu Allah kalau jiwa sudah dibersihkan. Sebab, tidak ada yang dibenarkan masuk ke Rumah-Nya dalam keadaan “kotor”. Dia hanya menerima jiwa yang telah menempuh jalan kesucian.

Itulah dulu mengapa, orang naik haji, umumnya sosok “spiritual” di kampungnya. Biasanya para guru dan ulama. Secara batin memang sudah siap bertemu Allah. Atau paling tidak, saat ke haji, mereka terlebih dahulu mengambil tariqah di berbagai tempat di tanah suci. Termasuk di Jabal Qubais (belakangan telah dihancurkan). Di tariqah ini mereka memperkuat “mukasyafah” (rasa kehadiran dan penyaksian al-Ruh al-Ilahi). Sehingga saat berhaji, bahkan sebelum dan sesudahnya, mereka telah mampu merasakan pengalaman-pengalaman “kehadiran” akan Rabb-Nya. Haji hanya salah satu puncak pengalaman lainnya, sambil secara fisik melakukan ziarah, menapak tilasi ritus nabi dan shalihin sebelumnya.

Agak berbeda dengan kita sekarang. Asal cukup uang, naik haji. Lalu di Tanah Suci mengalami berbagai hal, yang bahkan jauh dari rasa spiritualitas. Mirip-mirip di tolak oleh Allah. Saat “wuquf” menunggu Allah, yang hadir justru banjir dan angin ribut. Kira-kira begitu. Di ‘Arafah yang hakikatnya adalah “makrifah” (mengenal/berjumpa Allah), kita justru mengalami rasa gundah.

Wuquf adalah sebuah teknik spiritual kaum khawash. Kalau anda mengobservasi amalan kaum sufi, ada sebuah titik dalam proses dzikir panjang mereka (bisa berhari bahkan berbulan-bulan) yang menerapkan metode “diam”. Diam ini dilakukan pada fase jiwa “menunggu” kehadiran Tuhan. Untuk mencapai ini, wadah spiritual telah dipersiapkan jauh hari melalui mujahadah yang melelahkan. Apa yang dilakukan Muhamad di Hirak juga bagian dari “berdiam diri”, guna menyiapkan diri untuk menemui Kekasihnya. Semua nabi melakukan hal serupa. Tidak ada yang tiba-tiba jadi nabi. Semua telah melatih dirinya.

Ada sebuah momen dimana Dia kemudian “membuka pintu” dan menerima kita dalam Baitullah (Rumah-Nya). Ini akan menjadi pengalaman paling mengguncang. Sebuah pengalaman spiritual, dimana vibrasi kehadiran Allah benar-benar dirasakan secara aktual. Hati bergetar hebat, “.. wajilats qulubuhum”. Seluruh ego runtuh, menyatu dalam Keagungan dan Kebesaran-Nya. Bahkan Tuhan berbicara dalam qalbunya. Hal ini dialami para nabi, dan setiap umat nabi yang masih mewarisi metode wuquf.

Inilah puncak haji, “mengenal Allah” (makrifah). Seperti kata Nabi SAW: “Al-Hajj ‘Arafah”. Haji adalah perjalanan untuk mengenal/menemui Allah. Puncaknya dialami dalam “diam”, setelah lelah bermujahadah. Itulah hakikat wuquf dan ‘Arafah. Sejatinya, pengalaman ini tidak hanya dialami saat ritual haji. Pengalaman “makrifah” bisa dialami kapan pun dan dimana pun. Bahkan di rumah anda sendiri. Sebab, Allah ada dimana-mana, termasuk di kampung anda. Sebagaimana diungkap Hamzah Fansuri:

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *