Mahkamah Konstitusi Tidak Mengakui Kedaulatan Rakyat

Mahkamah Konstitusi
Dr. Ahmad Yani, S.H. M.H. (Ketua Umum Partai Masyumi)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Betul, bahwa putusan pengadilan harus kita hormati, tetapi kalau MK tidak menghormati dirinya sendiri, mengabaikan norma dan etika kemuliaan Mahkamah, bagaimana mungkin kita menghormati putusan MK itu?

Dr. Ahmad Yani

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Oleh: Dr. Ahmad Yani, S.H. M.H. (Ketua Umum Partai Masyumi)

Hajinews.idPutusan Mahkamah Konstitusi mengenai Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sepertinya menemui jalan buntu. Lebih kurang 20 Permohonan Gugatan yang telah dilayangkan ke MK, namun keseluruhannya ditolak dan tidak dapat diterima.

Dalil Mahkamah secara keseluruhan menyebutkan bahwa permohonan Perorangan warga negara tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum). Sementara untuk partai politik memiliki legal standing, namun pokok perkaranya tidak dikabulkan dengan alasan bahwa ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum itu adalah kebijakan hukum terbuka atau biasa disebut open legal policy..

Untuk mendalami masalah ini, perlu kiranya kita membahas ini dari sudut pandang hukum. Karena itu saya mencoba melihatnya dari perspektif kedudukan hukum dan perspektif konstitusi mengenai pengujian ambang batas pencalonan presiden ini.

Mengenai Kedudukan Hukum Perorangan

Mahkamah agak skeptis terhadap legal standing perorangan warga negara. Karena telah banyak permohonan yang diajukan ke MK atas nama perorangan warga negara, namun ditolak. Meski demikian MK tetap membuka peluang dikabulkannya permohonan perorangan apabila mampu membuktikan kerugian konstitusional akibat berlakunya ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam pasal 222 UU nomor 7 tahun 2017 itu.

Upaya untuk merumuskan legal standing perorangan telah dilakukan melalui berbagai permohonan yang telah di ajukan. Seperti Permohonan Busyro Muqoddas, Rocky Gerung dan ormas, Permohonan Rizal Ramli, permohonan Gatot Nurmantyo, Pemohonan Pensiunan seperti Al-Mizan Ulva dkk, Permohonan Lieus Sungkisma, permohonan Tamsil Linrung, Fahira Idris dkk, Pemohonan Diaspora Indonesia diluar negeri yaitu crist comari dkk , dan permohonan lainnya “tidak dapat diterima” oleh Mahkamah. Dalilnya bahwa pemohon tidak perorangan tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan presidential threshold.

Saya sebagai kuasa hukum dari Anggota 7 orang DPD RI mengajukan permohonan pengujian pasal 222 itu, berusaha memaksimalkan upaya intelektual saya dengan mengunskan pendekatan teori dan memperhatikan putusan-putusan MK yang berkaitan dengan pertimbangan hukumnya, untuk merumuskan legal standing yang dimaksud oleh Mahkamah, dan korelasinya dengan pokok permohonan supaya antara kerugian dan dalil permohonan memiliki keterkaitan. Namun pada akhirnya MK dengan dua putusan yang dibacakan khusus permohonan yang kami ajukan, dalil nya tetap berpendirian bahwa perorangan tidak memiliki legal standing.

Sulit bagi saya membayangkan, bahwa para pemohon didalilkan tidak memiliki legal standing, karena alasan bahwa hanya partai politik yang memiliki legal standing. Artinya para pemohon “warga negara” tidak memiliki kerugian konstitusional apapun dalam hal pemilihan presiden dan wakil presiden.

Berarti MK secara tidak langsung, menolak untuk mengakui bahwa warga negara bukanlah bagian penentu seseorang menjadi presiden atau tidak. Dengan kata lain rakyat tidak berhak menentukan calon presiden. Pertanyaannya, siapa yang berhak untuk memutuskan siapa pasangan calon presiden dan wakil presiden?

Dengan putusan Mahkamah menolak Gugatan Jenderal Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Tamsil Linrung, dkk, juga gugatan secara kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang diwakili oleh Ketua dan wakil ketua DPD RI, maka secara umum perorangan tidak bahkan lembaga negara tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan gugatan ambang batas pencalonan presiden.

Disinilah putusan MK itu menimbulkan berbagai persepsi dan kontroversi, bahwa penentuan calon presiden mutlak milik partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki suara 25% tingkat nasional dan atau 20% kursi di DPR RI.

Sementara partai-partai non parlemen yang tidak lolos parlementary theshold dan partai politik baru yang dinyatakan sebagai partai peserta pemilu oleh KPU tidak memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Dengan demikian hanya partai besar atau partai di parlemenlah yang berhak menentukan calon presiden.

Dengan menolak permohonan perorangan Mahkamah bukan hanya menjadi penjaga kepentingan oligarki, tetapi juga merampas hak konstitusional warga negara. Misalnya dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Setiap orang berhak untuk mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Artinya setiap orang memiliki hak untuk menentukan siapa pemimpin bagi mereka. Karena itu semua warga negara yang sudah dinyatakan oleh Undang-undang sebagai pemilih, memiliki legal standing untuk menguji pasal 222 ini.

Ditegaskan pula dalam pasal 28D ayat 1 dan 3, sebagai jaminan perlindungan bagi kepastian hukum yang adil bagi semua warga negara. Dalam ayat 3 memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Sayangnya kesempatan yang sama itu tidak diakui oleh Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan bahwa pemohon perorangan tidak memiliki kedudukan hukum. Mahkamah juga menilai tidak ada kerugian apapun bagi warga negara dalam pemilihan presiden sebab sudah menggunakan hak pilihnya. Sederhana saja bagi MK menyatakan tidak ada kerugian konstitusional.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *