Mahkamah Konstitusi Tidak Mengakui Kedaulatan Rakyat

Mahkamah Konstitusi
Dr. Ahmad Yani, S.H. M.H. (Ketua Umum Partai Masyumi)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Berkaitan dengan open legal policy, Mahkamah tidak memiliki pendirian yang jelas. Beberapa putusan Mahkamah berkaitan dengan pemilu, selain persoalan ambang batas, Mahkamah langsung menafsirkan sendiri pasal yang diuji.

Kalau sekiranya benar bahwa ambang batas pencalonan presiden itu adalah open legal policy maka MK tidak memiliki pendirian konstitusional. Dalam putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 mengenai pengujian Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum. Mk jelas membatalkan ketentuan pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 karena dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ketentuan pasal a quo oleh UUD 1945 diserahkan kepada pembuat UU untuk merumuskan normanya. Sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (6) yang menyatakan: “Ketentuan Lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan Undang-undang”. Tapi mahkamah pada waktu itu tidak menyebutkan itu diserahkan ke DPR dan Pemerintah sebagai pembuat UU, tetapi langsung ditafsirkan oleh MK dan diputuskan.

Mahkamah telah membuat yurisprudensi hukum bahwa katentuan pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945, meskipun didelegasikan ke dalam pembuat UU yaitu Presiden dan DPR, Mahkamah sebagai Lembaga Peradilan yang diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji UU terhadap UUD dapat membatalkan norma UU yang bertentangan dengan UUD 1945 tanpa harus dikembalikan kepada pembuat Undang-undang.

Itulah hakikat Mahkamah Konstitusi sebagai The guardian of the constitution. MK dibentuk sebagai benteng terakhir konstitusi untuk menguji setiap pasal yang bertentangan dengan UUD. Kalau sekiranya dalam hati kecil semua hakim-hakim MK menyatakan bahwa Pasal 222 UU 7/2017 itu inkostitusional, atau seperti yang dalam disetting opinion Hakim Saldi Isra dan Suhatoyo, apakah MK membiarkan Pelanggaran konstitusional itu dengan dalil open legal policy?

Maka disinilah pertanggungjawaban bagi kemuliaan hakim dan kehormatan Mahkamah. Kalau kemuliaan itu formalitas maka wajar bahwa open legal policy adalah dalil untuk menghindari sandera oligarki atas konstitusi. Dan kalau itu dibiarkan terus menerus, maka MK tidak layak diberi kemuliaan.

Dr. Ahmad Yani

Tidak ada Kejujuran dan Keadilan

Kita ingin pemilu itu dilaksanakan secara jujur dan adil sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 22E ayat 1. Namun bagaimana mungkin ada pemilu yang jujur (fair election) dan pemilu yang adil (justice election) dengan menggunakan titik star yang tidak sama. Seharusnya dalam Demokrasi semua orang memiliki starting yang sama sebagai warga negara, itulah esensi Demokrasi yang ber kedaulatan rakyat.

Mahkota Pemilu itu adalah kejujuran dan keadilan. Tanpa itu, pemilu hanya akan melahirkan kecurangan dan itulah yang kita tentang bersama. Menggunakan starting PT 20 persen itu sudah tidak fair dan tidak adil. Karena itu pula jangan berharap pemimpin terpilih bisa jujur dan adil.

Tetapi justru dengan keputusan MK menyatakan pasal 222 itu konstitusional, MK secara tidak langsung membiarkan ketidakadilan dan ketidakjujuran dalam pemilu terjadi. Kenyataan ini menggambarkan betapa MK memberikan ruang bagi kecurangan pemilu. Sebab dari awal permainan sudah diatur sedemikian rupa, sehingga setiap orang tidak memiliki kesempatan yang sama, baik untuk memilih maupun untuk dipilih sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Maka tidak heran, bahwa protes terhadap putusan mahkamah itu adalah bagian dari ketidkapercayaan masyarakat terhadap keputusan MK. Sadar atau tidak MK telah kehilangan martabat dan kemuliannya sebagai penjaga konstitusi. Hakim MK itu disebut negarawan, maka dia dimuliakan. Tetapi membiarkan ketidakjujuran dan ketidakadilan terjadi dengan mata telanjang, bahkan MK melegalkan itu dengan dalil konstitusional merupakan tragedi bagi Demokrasi dan rusaknya konstitusi. MK pun tidak berhak lagi untuk menyandang kemuliaan itu.

Betul, bahwa putusan pengadilan harus kita hormati, tetapi kalau MK tidak menghormati dirinya sendiri, mengabaikan norma dan etika kemuliaan Mahkamah, bagaimana mungkin kita menghormati putusan MK itu?

Wallahualam bis shawab

banner 800x800