Islamophobia

Islamophobia
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Hajinews.id – Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Ia sampaikan pandangan mengenai Islamophobia di Indonesia, Kamis (1/9/2022).

Pekan lalu saya diundang di Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara, untuk menyampaikan pandangan terkait Islamophobia di Indonesia.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Saya membuka paparan saya dengan melihat sejarah dan kontribusi Umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia.

Dimana tercatat dalam sejarah; Sangat besar. Bahkan saya katakan, umat Islam sejatinya adalah pemegang saham terbesar republik ini.

Di tahun 1916, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Haji Omar Said Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam, secara terbuka di ruang publik menyampaikan perlunya Hindia Belanda (sebutan Indonesia saat itu, red) merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri.

Begitu pula para pendiri bangsa kita yang lain. Ada nama-nama ulama besar di dalamnya.

Bahkan mereka juga yang terlibat aktif dalam perumusan Norma Hukum Tertinggi negara ini, yaitu Pancasila.

Mereka juga terlibat aktif di dalam BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hingga Menyusun Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasannya.

Ada banyak nama. Sebut saja di antaranya; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakir, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, dan lain-lain.

Bahkan dalam peristiwa mempertahankan Kemerdekaan, sejarah Indonesia tidak terlepas dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rois Akbar PBNU, Hadratus Syeikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Sehingga meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari Pahlawan di Kota Surabaya. Dimana teriakan atau pekik dari Bung Tomo, yaitu kalimat; Allahu Akbar, menjadi bahan bakar semangat para pejuang saat itu.

Sehingga dapat disimpulkan, hampir semua aktor-aktor peristiwa pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan adalah mayoritas beragama Islam. Tentu, tanpa mengurangi peran besar dari tokoh-tokoh non-muslim yang juga tercatat dalam sejarah.

Sehingga sangat tidak masuk akal bila belakangan ini Indonesia dilanda gejala terjadinya Islamophobia.

Jadi pertanyaannya? Mengapa fenomena Islamophobia ini belakangan semakin menguat terjadi di Indonesia?

Selain faktor Geopolitik Internasional, saya akan mencoba membedah faktor di dalam negeri.

Menurut saya ada tiga persoalan mendasar di dalam negeri yang memicu meningkatnya Islamophobia di Indonesia.

Pertama; karena kita sebagai bangsa telah terpolarisasi. Potensi konflik antar kelompok masyarakat sebenarnya terjadi sejak era kontestasi pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung yang disertai dengan Ambang Batas pencalonan.

Kita semua pasti mengenal istilah Presidential Threshold. Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas.

Celakanya, dari dua kali Pemilihan Presiden, negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam.

Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.

Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.

Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.

Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya. Sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Lalu muncul istilah kampret, cebong, kadrun, radikal dan lain sebagainya. Sungguh sangat tidak sehat untuk sebuah proses perjalanan politik sebuah bangsa.

Faktor kedua adalah semangat membangun kebhinekaan dilakukan dengan kampanye Moderasi Agama yang kurang tepat sasaran. Seolah Agama harus secara massif dan dipaksa untuk dimoderatkan. Tetapi yang menjadi sasaran pembahasan selalu Islam.

Islam seolah menjadi tertuduh sebagai penyebab kemunduran dalam hal kemampuan mengelola perbedaan dan keberagaman. Islam menjadi tertuduh dihuni oleh orang-orang yang memahami agama secara tekstual dan ekslusif.

Narasi-narasi seperti ini secara tidak langsung justru memicu menguatnya Politik Identitas, sebagai reaksi alami dari bentuk ketidaksetujuan terhadap konsep Moderasi Agama yang dirasakan menyudutkan Islam.

Faktor ketiga adalah Perubahan atas Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 silam, yang telah mengubah 95 persen isi Pasal-Pasal di dalamnya, sehingga tidak nyambung lagi dengan Pancasila. Bahkan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli dihapus total.

Sehingga Pasal-Pasal dalam Konstitusi baru tersebut justru menjabarkan Ideologi lain; yaitu Ideologi Individualisme dan Liberalisme. Karena itu tidak mengherankan jika belakangan ini Kapitalisme dan Sekulerisme semakin menguat di Indonesia.

Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara “malu-malu tapi mau”, atau “malu-malu kucing”.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *