Ternyata, Ini Biang Kerok Koruptor Makin Mudah Dapat Diskon Hukuman!

Zumi Zola (foto ist)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id — Mendadak puluhan koruptor keluar dari bui dengan status bebas bersyarat. Tanda tanya besar pun muncul. Ada apa?

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas Kemenkumham) selaku lini pertama pemberi lampu hijau bagi para koruptor itu mendapatkan status bebas bersyarat memberikan penjelasan. Rika Aprianti selaku Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Ditjen Pas menegaskan bila pembebasan bersyarat pada puluhan koruptor itu sudah sesuai aturan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Pembebasan bersyarat ini merupakan salah satu hak bersyarat yang diberikan kepada seluruh narapidana tanpa terkecuali dan nondiskriminasi, tentunya yang sudah memenuhi persyaratan administratif dan substantif,” kata Rika ketika ditemui di kantornya pada Rabu (7/9/2022), sebagaimana dikutip dari detikcom.

Aturan yang mana?

Rika menyebutkan Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Pasal itu berisi 4 ayat yang secara rinci isinya adalah sebagai berikut:

Pasal 10

(1) Selain hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali juga berhak atas:

a. remisi;

b. asimilasi;

c. cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga;

d. cuti bersyarat;

e. cuti menjelang bebas;

f. pembebasan bersyarat; dan

g. hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. berkelakuan baik;

b. aktif mengikuti program Pembinaan; dan

c. telah menunjukkan penurllnan tingkat risiko.

(3) Selain memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi Narapidana yang akan diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f juga harus telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.

(4) Pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Narapidana yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup dan terpidana mati.

“Syarat ini untuk siapa? Semua narapidana yang memenuhi persyaratan itu semuanya diberikan remisi. Jadi bukan hanya Tipikor, Tipikor ini hanya sebagian kecil untuk diberikan remisi,” kata Rika.

“Dan sekali lagi kami sampaikan bahwa hak ini memang diberikan nondiskriminasi tanpa terkecuali, kasus apa pun apabila sudah memenuhi persyaratan seperti tadi kami sampaikan maka berhak untuk mendapatkan hak bersyarat, baik itu PB (Pembebasan Bersyarat), CB (Cuti Bersyarat), CMB (Cuti Menjelang Bebas) termasuk remisi,” tambahnya.

Namun sejatinya ada hal krusial di balik pemberian status bebas bersyarat bagi para koruptor yaitu remisi atau pemotongan masa hukuman. Apa masalahnya?

Aturan turunan dari UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang secara spesifik membahas tentang remisi adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022. Aturan baru ini sebagai buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor. Di sinilah letak masalahnya.

Dalam aturan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Menkumham mensyaratkan bagi napi koruptor, syarat remisi koruptor adalah wajib sudah membayar denda dan uang pengganti.

Berikut isi lengkapnya

Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan Remisi, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Padahal di aturan sebelumnya yaitu PP Nomor 99 Tahun 2012, pemberian remisi bagi koruptor diatur sedemikian rupa agar tidak mudah didapatkan. Bagaimana aturan sebelumnya itu?

Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) PP 99/2012:

Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan

Pasal 34A ayat (3) PP 99/2012:

Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 A ayat (1) huruf (a) PP 99/2012:

(1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:

(a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

(a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

Pasal 43A ayat (3):

Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Singkatnya ada beberapa persyaratan bagi para koruptor mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Namun aturan itu sudah digantikan dengan yang baru seperti disebutkan di atas. Kenapa?

Pada tahun 2021 Mahkamah Agung (MA) melalui ketua majelis Supandi dengan anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono mencabut dan membatalkan aturan itu sebab diujimaterikan atau judicial review oleh Subowo dan empat temannya. Mereka saat itu adalah mantan kepala desa dan warga binaan yang sedang menjalani pidana penjara di Lapas Sukamiskin, Bandung.

Hal ini pula yang disorot oleh para aktivis korupsi salah satunya adalah Boyamin Saiman sebagai Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Apa katanya?

Boyamin memahami tentang putusan MA yang mencabut aturan itu. Namun menurutnya seharusnya koruptor diberikan aturan yang berbeda dibanding narapidana lain.

“Ya itu karena pengaturan hak itu kan memang harus undang-undang, maka memang PP itu dianggap juga melanggar hak orang. Maka harus diatur di undang-undang,” kata Boyamin kepada wartawan, Rabu (7/9/2022).

“Sementara dalam UU Pemasyarakatan, napi itu berhak remisi, bebas bersyarat, asimilasi. Kemarin itu yang mengatur pengurangan itu hanya narkoba dan teroris, sementar korupsi tidak diatur. Maka dia berlaku seperti napi-napi yang lain. Sehingga MA mencabut itu karena tidak diatur UU. Maka sekarang diatur di UU Pemasyarakatan. Jadi sepanjang nanti UU Pemberantasan Korupsi tidak membatasi seperti narkoba dan teroris, maka ya tetap berlaku UU Pemasyarakatan Nomor 22 tahun 2022 itu bahwa korupsi berhak yang sama seperti napi yang lain,” sambungnya.

Pengetatan remisi koruptor, menurut Boyamin, sesungguhnya dapat dimasukkan ke dalam UU Pemasyarakatan. Namun hal itu disebutnya tidak dilakukan pemerintah dan DPR RI.

“Sebenarnya pemerintahan yang lalu membuat PP itu untuk membatasi, tapi mestinya dimasukkan ke UU. Nah kalau DPR tidak mau, karena ini politis ya sudah nasib kita lah melihat kasus korupsi menjadi tidak istimewa lagi, sama dengan tindak pidana lain,” ucapnya.

“Maka ya karena aturan PP dicabut ya otomatis tidak berlaku pengetatan atau pembatasan remisi, bebas bersyarat, dan lain-lain. Maka sekarang terjadi itu. Semua akhirnya pemerintah tak berhendak membatasi, DPR tidak membatasi, MA yudikatif tak membatasi,” imbuhnya.

Hal serupa disampaikan Denny Indrayana yang diketahui menjabat sebagai Wamenkumham pada periode 2011-2014. PP pengetatan remisi yaitu PP 99/2012 lahir di masa dirinya menjabat.

“Kembalinya rezim ‘obral remisi’ demikian seharusnya tidaklah mengejutkan, dan merupakan konsekuensi dari dibatalkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang pada intinya adalah mengetatkan pemberian hak-hak napi korupsi seperti remisi dan pembebasan bersyarat,” ucap Denny yang kini sebagai senior partner dari Integrity Law Firm dalam keterangannya.

“Pembatalan PP 99 tahun 2012 diawali setahun lalu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41 tahun 2021. Putusan MK tersebut membuka pintu lebar-lebar bagi Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 28P/HUM/2021 yang menyatakan pasal-pasal ‘pengetatan remisi’ PP 99 bertentangan dengan Undang-Undang Pemasyarakatan, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imbuhnya.

Denny menyentil bila dicabutnya PP itu disambut gembira para koruptor. Mereka dinilai Denny memang selama ini dibikin sulit mendapatkan diskon hukuman karena PP itu.

“Putusan MK dan MA tersebut tentu saja disambut riang-gembira oleh para napi korupsi yang sudah sejak lama berjuang membatalkan PP 99 tahun 2012, yang memang membuat mereka sulit mendapatkan pengurangan hukuman, alias menghilangkan kebiasaan ‘obral dan jual-beli remisi’. Sejak diterbitkan di tahun 2012, ketika saya masih menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, PP 99 telah diuji berkali-kali ke MA dan MK. Dalam putusan-putusan sebelumnya, baik MK maupun MA konsisten menyatakan bahwa PP pengetatan remisi tersebut tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya, dan sejalan dengan politik hukum pemberantasan korupsi yang luar biasa. Sayangnya, pertahanan MK dan MA tersebut jebol juga dengan gempuran tanpa henti para koruptor. Pembatalan PP 99 mengembalikan rezim obral remisi yang menghamparkan karpet merah kebebasan serta menghilangkan efek jera bagi para koruptor,” ucap Denny.

23 Koruptor Bebas Bersyarat

Sebelumnya Ditjen Pas Kemenkumham mengungkapkan jumlah napi koruptor yang mendapat bebas bersyarat. Sebanyak 23 napi koruptor bebas bersyarat.

“Dua puluh tiga narapidana tipikor yang sudah dikeluarkan pada tanggal 6 September 2022 dari 2 lapas, yaitu Lapas Kelas I Sukamiskin dan Lapas Kelas IIA Tangerang,” ujar Koordinator Hubungan Masyarakat dan Protokol Ditjen Pas Rika Aprianti kepada wartawan, Rabu (7/9).

Rinciannya 23 orang itu adalah empat narapidana dari Lapas Kelas IIA Tangerang dan 19 narapidana dari Lapas Kelas I Sukamiskin. Salah satu yang bebas bersyarat adalah Zumi Zola, Patrialis Akbar, Ratu Atut, dan Pinangki Sirna Malasari.

Berikut ini daftar 23 napi korupsi:

Lapas Kelas II A Tangerang

• Ratu Atut Choisiyah Binti Alm, Tubagus Hasan Shochib

• Desi Aryani Bin Abdul Halim

• Pinangki Sirna Malasari

• Mirawati Binti H. Johan Basri

 

Lapas Kelas I Sukamiskin

• Syahrul Raja Sampurnajaya Bin H. Ahmad Muchlisin

• Setyabudi Tejocahyono

• Sugiharto Bin Isran Tirto Atmojo

• Andri Tristianto Sutrisna Bin Endang Sutrisna

• Budi Susanto Bin Lo Tio Song

• Danis Hatmaji Bin Budianto

• Patrialis Akbar Bin Ali Akbar

• Edy Nasution Bin Abdul Rasyid Nasution

• Irvan Rivano Muchtar Bin Cecep Muchtar Soleh

• Ojang Sohandi Bin Ukna Sopandi

• Tubagus Cepy Septhiady Bin. TB E Yasep Akbar

• Zumi Zola Zulkifli

• Andi Taufan Tiro Bin Andi Badarudin

• Arif Budiraharja Bin Suwarja Herdiana

• Supendi Bin Rasdin

• Suryadharma Ali Bin. HM Ali Said

• Tubagus Chaeri Wardana Chasan Bin Chasan

• Anang Sugiana Sudihardjo

• Amir Mirza Hutagalung Bin. HBM Parulian

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *