Hamid Basyaib: Optimisme Konstan Azyumardi Azra

Optimisme Konstan Azyumardi Azra
Azyumardi Azra
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Hamid Basyaib, Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.

Hajinews.id – YAYASAN ROCKEFELLER  mengundang dua puluhan orang dalam diskusi meja bundar yang menyenangkan di tepi danau Bellagio yang indah di utara Milan, Italia. Semua peserta adalah aktivis dan sarjana Islam dari sejumlah negara non-Arab. Yayasan New York itu ingin mendengar suara Islam dari pinggiran, bukan dari dunia Arab, “pusat” yang selama ini diidentikkan dan menjadi suara tunggal Islam yang didengar di Barat.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Saya senang karena turut diundang bersama tiga orang lain dari Indonesia. Saya semakin gembira karena Azyumardi Azra menjadi salah satu pembicara utama atau pemantik diskusi kecil yang hangat itu. Kami semua menginap di bekas kastil bangsawan paling ternama Italia, Medici.

Dari jendela kastil indah yang dibangun pada 1601 itu, yang bertengger di punggung bukit kecil dikepung taman asri, bekas milik sebuah keluarga yang disebut menjadi penggerak penting Renaissance Eropa (kemudian menyebar ke seluruh dunia), kita dapat melihat biara tua yang indah di bawah sana, juga perahu-perahu kecil dan beberapa rombongan angsa hilir-mudik di danau yang sering berkabut.

Panitia Rockefeller tampak sangat berhati-hati dalam menyelenggarakan diskusi. Mereka seakan ingin menunjukkan bahwa mereka semata-mata hanya menyediakan forum bagi peserta, dan membiarkan mereka bicara sepuasnya. Moderator tetap pun dipilih Surin “Abdul Halim” Pitsuwan, orang Melayu Pattani yang pernah menjabat menteri luar negeri Thailand. Rockefeller was all ears, begitu kira-kira pesan yang mau disampaikan. Yayasan Amerika itu tak ingin terkesan menggiring-giring opini.

Di akhir 2005 itu ekor peristiwa 9/11 masih sangat terasa. Pemerintah Amerika sedang terus menerapkan kebijakan yang cenderung drakonian bagi negara-negara Muslim, sambil memburu aktivis dan wajah-wajah bertampang Timur Tengah di dalam negeri.

Dengan bayangan peristiwa pengeboman menara WTC dan seluruh kebijakan pemerintah Amerika yang mengikutinya, diskusi Bellagio berjalan datar dan mulai membosankan. Kehati-hatian segera terasa menjadi norma standar.

Semua peserta — dari Afrika Selatan, Tanzania, Malaysia, Filipina dll; juga seorang aktivis-pengusaha kaya dari Kenya — seakan berlomba menyatakan bahwa “Islam kami” berbeda dari Islam Arab.

Membuka diskusi di hari kedua, Azyumardi Azra menekankan hal senada. Makalahnya dibuka dengan memperkenalkan sejarah, politik dan geografi Republik Indonesia. Ia mengakui kuatnya pengaruh ulama dan gerakan-gerakan sosial Islam dari Timur Tengah, khususnya Ikhwanul Muslimin beserta tokoh-tokoh terpentingnya seperti Sayyid Qutb, di Indonesia.

Seiring keterbukaan politik berkat Reformasi, pengaruh itu kian terasa karena kelompok-kelompok yang selama ini menganut Qutbisme, juga grup-grup seperti Hizbut Tahrir, menjadi terbuka menampakkan pengaruh itu. Tapi, kata Kak Edi, (begitulah ia disapa oleh para juniornya di UIN Ciputat), yang melanda Islam Indonesia bukan hanya ide-ide radikal semacam itu, melainkan juga gagasan pemikir Pakistan yang menjadi profesor di Universitas Chicago, Fazlur Rahman. “Beliau memiliki dua murid utama di Indonesia, Nurcholish Madjid dan Syafii Maarif,” katanya. Berkat mereka berdualah ide-ide Rahman menyebar di Indonesia. Keduanya waktu itu baru kembali dari Chicago.

Mendengar spirit Azyumardi yang saya anggap sekadar ingin menenteramkan pihak luar, dengan menekankan besarnya pengaruh Rahman melalui kedua muridnya itu — dan karenanya di Indonesia ada ide pengimbang yang andal untuk gejala radikalisme — saya “terpaksa” menghangatkan diskusi yang datar selama dua hari itu dengan menyanggah deskripsinya.

Meski pengagum berat Fazlur Rahman, saya merasa harus mengakui bahwa pengaruhnya kecil saja di Indonesia. Setidaknya sangat tak sebanding dengan pengaruh Qutbisme dan sejenisnya di kalangan gerakan-gerakan Islam Indonesia. PKS, partai yang punya suara signifikan di parlemen, adalah penganut garis Wahabbian dan Ikhwan, bukan “neo-modernisme” Fazlur Rahman.

Azyumardi menyanggah balik dengan cukup sengit. Istirahat makan siang membuat kejengkelannya tertunda — lalu kembali dituangkannya saat kami bertemu di depan kamarnya ketika ia akan salat zuhur. Dia agak emosional mendebat pendapat saya. (Ketika diskusi menghangat, anggota panitia di samping saya, seorang Amerika, berbisik, “My friend, ironis juga, ya, orang-orang ini berdiskusi tentang Islam di gedung milik Johnny Walker.” Kastil Medici memang sudah lama dibeli oleh perusahaan wiski itu, dan sering dipinjamkan kepada lembaga-lembaga seperti Rockefeller).

Tapi, saya bilang, nantilah kita lanjutkan debat ini; sekarang saya harus ke kafe di jalan ujung Bellagio bersama Mona Abaza, dosen sosiologi di Universitas Amerika Kairo yang kebetulan sedang beresidensi sebulan di Bellagio. “Oh, ada Mona Abaza?”tanyanya. “Tunggu, ya. Saya ikut!” Saya gembira melihatnya kontan melupakan debat kami, dan kembali menjadi “Kak Edi” bagi saya, juniornya; bukan lagi Profesor Azra yang angker.

Ia masuk ke kamar untuk salat. Saya langsung menuju kafe. Saya memilih untuk menikmati kopi sore berdua saja dengan Mona yang jelita (ia wafat di Berlin, Juli tahun lalu. karena kanker).

Azyumardi Azra menandai karir intelektualnya di luar kampus dengan mengedit buku kumpulan kolom Fachry Ali di harian Kompas. Ia tampaknya menjadikan Fachry, kakak kelasnya setahun di IAIN (UIN) Ciputat, sebagai model bagi karir intelektualnya; mungkin karena Nurcholish Madjid terasa terlalu jauh dari segi pergaulan maupun generasi. Fachry Ali adalah model yang realistis.

Sebagai anak muda di usia pertengahan 20-an, Fachry Ali, anak Aceh yang sangat memahami sosiologi Betawi, sudah sukses menembus halaman opini Kompas, yang kala itu parameter dan altar penahbisan seorang intelektual-penulis Indonesia. Kecemerlangan Fachry memang seperti tak berpreseden: seorang mahasiswa dari sebuah sekolah tinggi Islam, yang kala itu pinggiran dan jauh kalah gengsi dibanding UI dan universitas-universitas besar lainnya, seakan tiba-tiba menyeruak dan berhasil merebut tempat di arena intelektual nasional yang didominasi para sarjana dari kampus-kampus sekuler.

Antologi Fachry Ali yang disunting Azyumardi itu diterbitkan oleh penerbit P2M Jogja pimpinan Amrullah Achmad; saya mengetahui prosesnya karena di awal 1980-an itu hampir tiap hari mengunjungi kantor lapang yang menyenangkan bagi mahasiswa yang serba kekurangan seperti saya.

Rupanya sejak itu tekad Azyumardi semakin mantap untuk menempuh karir akademis. Peluang besar muncul ketika Menteri Agama Munawir Sjadzali mengeluarkan kebijakan mengejutkan: sarjana Islam sebaiknya mulai belajar di Barat, tidak lagi menjadikan Timur Tengah sebagai kiblat akademis.

Belajar Islam di Barat, begitulah spirit pesan Menteri Munawir, akan membuat mahasiswa mampu berpikir analitis, memungkinkan mereka belajar dengan metode ilmiah yang sistematis. Khazanah pemikiran Islam di Timur Tengah memang sangat kaya, tapi mereka tidak mampu mengolah limpahan bahan itu karena tidak memiliki metode ilmiah.

Pada umumnya semangat besar di kalangan ulama di sana masih sangat diwarnai sentimen anti “Orientalis” — meski di saat yang sama sangat mengandalkan hasil studi-studi mereka di bidang hadis atau tokoh-tokoh sufisme dan filosof klasik Islam.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *