Anies Presiden “De Facto”

Anies Presiden "De Facto"
Anies Presiden "De Facto"
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Yusuf Blegur

Hajinews.id – Saat Anies begitu didukung dan dicintai sebagian besar rakyat Indonesia, namun tak disukai bahkan dibenci oleh oligarki dari korporasi dan partai politik. Maka tunggu saja, kehadiran pemimpin “de facto” yang mengemban aspirasi dan kehendak rakyat dari demokrasi yang sehat?. Ataukah pemimpin “de jure” tanpa mandat rakyat dari demokrasi yang sakit?.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mungkin terlalu dini dan mustahil menyebut seorang Anies Baswedan menjadi presiden “de facto” di saat sekarang ini. Ada tiga faktor yang menegaskan premis itu menjadi sekedar angan-angan dan dianggap uthopis. Pertama, karena pilpres baru akan digelar pada tahun 2024. Kedua, karena pada 16 Oktober 2022 Anies baru akan mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur Jakarta. Ketiga, rasanya seakan kurang pas membicarakan hal tersebut di saat negara sedang kacau balau alias berantakan.
Namun apakah semua yang terjadi pada NKRI, harus selalu mengikuti keinginan dari pikiran-pikiran yang normal dan rasional?. Termasuk prosesnya sesuai dengan ukuran formal dan konstitusional?.

Pertanyaan tersebut tidak serta-merta harus ditafsirkan sebagai wacana apalagi sebagai upaya yang mendukung tindakan irasional dan tidak konstitusional. Terlebih jabatan presiden yang baku aspek hukumnya dan jika dikaitkan dengan figur Anies yang dikenal sebagai intelektual yang mengedepankan akal sehat dan taat pada aturan main. Anies juga diidentikan sebagai pemimpin yang terbiasa tertib administrasi, mengikuti aspek prosedural dan cenderung lentur pada birokrasi. Jejak rekamnya dalam dunia pendidikan maupun karir pemerintahan mulai dari mendirikan program Indonesia Mengajar dan menjadi Rektor Universitas Paramadina hingga duduk sebagai menteri pendidikan dan menduduki jabatan gubernur Jakarta. Membuktikan Anies bukan tipikal pemimpin yang bergaya preman dan ugal-ugalan.

Pun demikian memori kolektif bangsa Indonesia bukan tidak pernah bahkan bisa dianggap sering mengalami peristiwa atau kejadian di luar kebiasaan kalau tidak bisa disebut ‘abnormal’. Sejarah kental memberi pelajaran pada rakyat Indonesia, tidak sedikit kenyataan-kenyataan pada kehidupan bernegara dan berbangsa lahir dari fenomena di luar logika dan penalaran. Secara empiris baik aspek politis maupun ideologis, rakyat cukup kenyang menyantap menu ketidakpatutan dan ketidaklayakan. Terlalu banyak realitas kehidupan yang harus diterima sebagai guratan nasib atau sesuatu yang sudah menjadi takdir Tuhan. Entah yang datang berupa kebaikan atau keburukan sekalipun, entah dalam kehidupan pribadi atau dalam lingkungan masyarakat. Betapapun keduanya sangat terikat dan tak terpisahkan dari sebuah sistem, sebuah aturan yang integral dan komprehensip dalam ketatanegaraan.

Bercermin pada pergerakan kemerdekaan Indonesia di masa lalu, saat rakyat berjuang mengusir penjajahan dan ingin menjadi negara merdeka dan berdaulat. Mengemuka betapa jauh dari logis dan kewarasan bahwa bangsa Indonesia hanya berbekal dengan persenjataan tradisional dan seadanya mampu melawan kolonialisme dan imperialisme dunia yang ditunjang oleh pasukan tentara terlatih serta persenjataan yang lengkap dan modern pada waktu itu. Begitupun luar biasa dan menakjubkan saat bangsa yang begitu besar, luas dan kaya, dengan kebhinnekaan dan kemajemukannya mampu berhimpun dan berikrar dalam satu konsensus nasional menjunjung Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Tak kalah penting dan menariknya bumi nusantara yang eksotik alamnya, juga teguh memelihara kultur dan natur yang kuat budaya patron klen di dalamnya. Salah satunya dalam memilih pemimpin yang diyakini sebagai satrio piningit yang akan membawa kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Rakyat akan manut pada arahan para orang tua, guru, tokoh adat, pemimpin desa atau kampung, dan pimpinan-pimpinan komunitasnya. Demikian sedikit dari banyak hal yang faktual yang sangat sulit bisa diterima dalam ranah kesadaran akal dan logika. Peristiwa atau kejadian-kejadian yang memuat nilai-nilai kemaslahatan dan hanya bisa leluasa diterima dengan kesadaran spiritual dan kemampuan menyelami dimensi trasedental. Semua itu seperti panggilan “given”, layaknya anugerah Ilahi yang diberikan untuk rakyat, negara dan bangsa Indonesia.

Begitupun sebaliknya republik yang berbasis dari kekuasaan kerajaan-kerajaan nusantara ini, pasca kemerdekaan dan bertransformasi menjadi NKRI. Tak usai dirundung kenestapaan sebagai sebuah negara bangsa. Kesengsaraan dan penderitaan menjadi realitas kontradiktif dari apa yang diyakini sebagai keinginan para “the founding fathers” dan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan sebagai jembatan emas seperti yang dikatakan Bung Karno, pada akhirnya hanya menampilkan perpindahan kekuasaan dari satu rezim ke rezim yang lain. Menjadi semacam parade pemerintahan yang hanya mampu mewujudkan dan menopang hegemoni dan dominasi kekuatan ideologi kapitalisme dan komunisme di negerinya sendiri.

Betapa digdayanya pengaruh keniscayaan global yang bertentangan dengan falsafah dan dasar negara Pancasila yang pernah menggerakan dan memengaruhi gerakan non blok dalam percaturan internasional. Tregedi demi tragedi dalam konflik yang saling menegasikan dan membunuh sesama anak bangsa, telah menjadi keseharian dinamika memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan di dalam negeri semakin menjadi tradisi. Dampak lokal akibat kebijakan internasional, meskipun semua itu dilakukan atas nama demokrasi, HAM, perdamaian dunia, gerakan anti korupsi, isu lingkungan, soal ketahanan pangan dlsb. Etalase kampanye dari globalisme yang perlahan dan berangsur-angsur membunuh peradaban manusia dan nilai-nilai keagamaan. Kenyataan itu yang membentuk situasi dan kondisi pada fase kemudharatan atau kejahatan kemanusiaan secara terstruktur, sistematik dan masif. Dalam hal ini, semua itu seperti menjadi hukuman atas dosa politik berjamaah atau lebih ekstrim kutukan pada bangsa ini baik yang dilakukan oleh para elit pemimpin, kelas menengah maupun rakatnya sendiri. Boleh jadi kondisi obyektit dari fenomena-fenomena distorsi itu sebagai konsekuensi dari syahwat memburu materialisme dan mengabaikan religiusitas. Masyarakat modern tanpa nurani dan akal sehat, masyarakat beragama tanpa berTuhan.

Kembali kepada figur Anies dengan gelat pencapresannya dan kontestasi pada pilpres 2024. Seperti tak bisa dihindarkan dari kesadaran etos dan mitos bangsa Indonesia. Sebagaimana upaya pencarian pemimpin yang jujur dan adil, yang telah lama dirindukan rakyat. Pemimpin yang dipilih karena penilaian dari keyakinan lahir dan batin. Anies secara persfektif politik realitas, mungkin agak sulit dan seperti menghadapi tembok besar untuk menjadi presiden yang diinginkan rakyat. Terlebih saat demokrasi berisi dan dalam kemasan kapitalistik dan transaksional. Kekuatan liberalisasi dan sekulerisasi yang menumpuk pada oligarki korporasi dan partai politik, sulit menjamin proses kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin secara ideal sesuai aspirasi dan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Oligarki yang telah menjadi representasi kolonialisme dan imperialisme modern saat ini, semakin nyata dan berhadapan langsung dengan Anies dan rakyat dibelakangya yang menginginkan perubahan Indonesia menuju kebaikan.

Terlebih di saat rakyat sudah lelah dan jenuh hanya bisa bermimpi tentang negara kesejahteraan, tentang kehidupan adil makmur dan sentosa. Mimpi-mimpi indah yang sudah berubah menjadi sikap apriori dan skeptis itu, kini mewujud kenyataan sebaliknya, parah dan mengerikan. Rakyat telah paripurna hidup dalam habitat negara gagal. Bukan kemajuan negara dan kebahagiaan rakyatnya, rezim terus terbang tinggi meroket ke langit membawa haraga BBM, listrik, sembako, transportasi, pendidikan, kesehatan, pajak dan semua hajat hidup orang banyak. Seiring itu harga diri para pejabat dan politisi semakin jatuh terjun bebas, turun sedalam-dalamnya kerak bumi. Tanggung jawab dan kewajiban negara dioerhalus bahasanya menjadi subsidi,yang sewaktu-waktu bisa dikurangi atau dihapus serta dijadikan modus untuk maling uang rakyat. Rakyat telah menjadi populasi penduduk tanpa pemerintahan dan tanpa negara. Hanya habitat kaum lemah yang tak berdaya dan tertindas karena terus-menerus dilecehkan, dihina, diperkosa, dirampok, dibantai dan dibunuh oleh penguasa dzolim. Politik kekuasaan dari rezim yang berorientasi pada dehumanisasi.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *