Anies Dan Politik Identitas

Anies Dan Politik Identitas
Anies Baswedan, Foto: Facebook Anies Baswedan
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Moksen Idris Sirfefa, Ketua Bidang Agama dan Ideologi Majelis Nasional KAHMI periode 2017-2022.

“Identity is people’s source of meaning and experience” (Manuel Castells)

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Hajinews.id – Empat hari pasca pencapresan oleh Partai Nasdem, Anies Rasyid Baswedan menghadiri undangan pernikahan anak Habib Rizieq Syihab (HRS) sekaligus peringatan Maulid Nabi S.a.w di Petamburan Jakarta. Lawan politik ramai-ramai ngetwit wacana politik identitas. Niluh Djelantik, Ketua Departemen Bidang UMKM Partai Nasdem langsung menyatakan diri keluar dari kepengurusan partai besutan Surya Paloh itu. Salah satu petinggi Partai Demokrat (partai potensial koalisi Nasdem) juga mewanti-wanti agar Anies tidak membawa-bawa politik identitas.

Para buzzer optimis bahwa jualan isu politik identitas cukup efektif untuk menjatuhkan citra Anies karena isu Formula E gagal digoreng. Mengapa politik identitas dipakai untuk melawan Anies? Karena di pemahaman mereka, politik identitas identik dengan diskriminasi rasial, intoleran, radikal, ekstrim, dan (lebih celaka lagi) merupakan identitas politik Islam. Dalam framing kelompok ini, politik identitas mengerikan dan berbahaya. Politik identitas harus dilawan, karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Wacana politik identitas dibangun oleh mereka dengan tujuan memunculkan trauma dan ketakutan politik ( political fear) bagi para followers dan vooters Anies yang mayoritas kelas menengah kota.

Politik Identitas : Kesamaan dan Perbedaan

Di masa lalu politik identitas disebut politik aliran yaitu Islam dan nasionalis sekuler. Sejauh ini definisi tentang politik identitas belum ditemukan di dalam kepustakaan ilmu politik, sehingga yang ditemukan hanya pengertian politik dan pengertian identitas. Tulisan ini tidak mengulas arti politik melainkan arti identitas, karena kata itu yang menjadi momok akhir-akhir ini. Justru politisi yang gamang terhadap politik identitas adalah ahistoris.

Identitas adalah sumber makna (jatidiri) dan pengalaman seseorang, ( Identity is people’s source of meaning and experience), tulis sosiolog Spanyol, Manuel Castells. Menurut Castells (2010), identitas terbagi dalam tiga kategori. Identitas legitimasi, identitas resistensi dan identitas proyek. Identitas legitimasi dikenalkan oleh institusi paling dominan di dalam masyarakat dalam hal ini kita sebut pemerintah. Nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, agama, golongan darah (pada KTP dan Kartu Keluarga) yang secara tersirat juga menerangkan etnisitas seseorang. Identitas resistensi adalah identitas yang terbentuk karena adanya resistensi atau perlawanan terhadap logika kelompok dominan. Identitas proyek diperoleh akibat kontruksi identitas. Misalnya pengangkatan dan pemberian gelar adat kepada figur tertentu dari luar komunitas adat bersangkutan.

Jika mengikuti Castells, yang ditakutkan oleh sebagian orang tentang kebangkitan politik identitas adalah identitas legitimasi. Yaitu identitas yang melekat dengan diri seseorang berupa nama, keluarga, asal-usul, agama, etnis, lingkungan pergaulan, budaya dan sebagainya. Bagaimana bisa semua itu ditanggalkan dan seseorang menjadi bukan manusia ( unidentified being)?

Kauffman (1990) mendefinisikan politik identitas sebagai politik budaya yang mengekspresikan “keyakinan tentang identitas itu sendiri” ( the belief that identity itself). Politik identitas mempolitisasi bidang kehidupan yang sebelumnya tidak didefinisikan sebagai politik, termasuk seksualitas, interpersonal, hubungan, gaya hidup, busana, demontrasi buruh, termasuk tren minum kopi. Masing-masing daerah menunjukkan identitasnya; kopi Papua, kopi Aceh, kopi Toraja dan seterusnya.

Menurut Fukuyama (2018), sebagian besar perjuangan politik dunia kontemporer diwarnai dengan politik identitas. Dari berbagai revolusi demokratis hingga gerakan sosial baru. Dari nasionalisme dan Islamisme hingga politik identitas diangkat oleh kelompok kiri ( the left) dan kelompok kanan ( the right) di negara-negara demokrasi-liberal. Kaum kiri lebih menekankan isu-isu kesetaraan dan keadilan, sementara kaum kanan lebih menuntut kebebasan yang lebih luas dalam semua lini kehidupan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *