Ubah Saja BNPT Menjadi BNPO Atau BNP-PKI!

Ubah Saja BNPT Menjadi BNPO
Ubah Saja BNPT Menjadi BNPO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

Hajinews.id – TOKOH Muhammadiyah Din Syamsuddin mengaku sudah menduga bakal terjadi sesuatu saat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bicara tentang radikalisme dan politik identitas jelang Pemilu 2024, kata Din Syamsuddin dalam keterangan, Rabu, 26 Oktober 2022.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sebaiknya Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) diubah menjadi Badan Nasional Penanggulangan Oligarki (BNPO) atau Badan Nasional Penanggulangan Kebangkitan Partai Komunis Indonesia (BNPK-PKI).

Cabut dan ubah UU Nomor 5 Tahun 2018 tanggal 21 Juni 2018, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sesuai kondisi aktual negara dalam ancaman Oligarki dan kebangkitan PKI.

Pada masa perkembangan virus Covid dengan program PPKM dan macam- macam aturan untuk pencerahan virus Covid, BNPT seperti pensiun dari kerjanya, sunyi senyap tenang dalam posisinya.

Akhir-akhir ini menjelang tahun politik 2023, narasi radikalisme dan terorisme kembali digulirkan bak gorengan lama yang berusaha dipanaskan kembali keberadaannya. Bahkan sudah beranak lahirnya narasi Politik Identitas di aduk dengan khilafah.

Di balik getolnya pemerintah untuk memerangi paham radikalisme-terorisme ini muncul opini, sebenarnya persoalan radikalisme-terorisme itu diduga kuat hanya merupakan sebuah proyek yang berbahaya karena bisa memecah-belah persatuan umat dan bangsa Indonesia.

Sangat mungkin ini hanya untuk menutup beberapa situasi negara dalam kondisi gawat akibat ulah Oligarki yang telah memporak-porandakan tata kelola negara dan bersamaan sangat kuat diduga akan munculnya kembali kebangkitan PKI.

  • Apa itu radikalisme begitu penting untuk diwaspadai?
  • Apakah radikalisme ini sebenarnya hanya sebuah proyek belaka?
  • Siapa sebenarnya yang menjadi korban terbesarnya?
  • Apa agenda terselubung di balik getolnya kampanye anti radikalisme-terorisme di Indonesia?

Sampai detik ini, narasi radikalisme belum mendapatkan pengertian dan makna yang jelas di tengah-tengah masyarakat kita.

Sebab tudingan yang didengungkan mengenai radikalisme acapkali sarat dengan kepentingan politik tertentu yang menyertainya.

Bahkan, seringkali tudingan-tudingan tersebut dialamatkan kepada pihak-pihak yang dianggap telah mengancam eksistensi penguasa atau ditujukan kepada mereka yang katanya bermaksud mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan arah tembakan lurus kepada umat Islam.

Ancaman terhadap penggantian Pancasila dan UUD 1945 itu sangat jelas dan terang benderang bukan datang dari umat Islam.

Ancaman tersebut justru datang dari rezim bersama kekuatan Dewan Perwakilan Rakyat atas remot kaum kapitalis Oligarki yang telah berkali-kali mengamandemen UUD 1945 menjadi UUD 2002.

Kekuatan itulah yang saat ini riil telah mengganti UUD 1945 menjadi UUD 2002. Tiba-tiba urusannya melesat jauh ke soal radikalisme, teroris, khilafah dan politik identitas.

Secara yuridis dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memang berulangkali digunakan diksi “radikalisasi”. Tidak dijelaskan definisi dari radikalisme itu sendiri sendiri sehingga tidak jelas makna yang dimaksudkannya.

Selain itu hingga saat ini belum ada lembaga negara yang secara sah dapat menentukan siapa saja yang bisa disebut radikal dan tindakan apa yang bisa dilakukan kepadanya.

Karena radikalisme tidaklah sama dengan terorisme, bahkan BNPT pun sebenarnya tak punya legitimasi untuk menentukan kriteria radikal maupun ekstrem dan siapa saja yang harus diwaspadainya.

Terlalu banyak analisa kalau persoalan radikalisme – terorisme hanya merupakan sebuah proyek, antara lain oleh mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafidz Abbas dikutip beberapa media menyebut bahwa kasus terorisme di Indonesia selama ini terkesan seperti proyek belaka.

Jauh sebelumnya, sinyalemen radikalisme-terorisme telah dijadikan proyek juga disampaikan oleh Mantan Ketua Umum PBNU dua periode (1999-2009), KH Hasyim Muzadi (sebelum beliau meninggal dunia). Secara tersirat menilai bahwa permanenisasi isu radikalisme-terorisme di Indonesia ini sepertinya sudah dijadikan proyek-proyek yang permanen sifatnya.

Laksamana TNI Purnawirawan Mulyo Wibisono, mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) ini bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut ada kemungkinan kemunculan teroris Solo beberapa waktu yang lalu sebagai rekayasa pihak BNPT untuk mendapatkan kucuran dana, dana dari si polisi dunia, seperti dikutip itoday, Sabtu (8/9/2012).

Membaca narasi soal radikalisme-terorisme di atas memang memunculkan sebuah tanda tanya benarkah persoalan radikalisme-terorisme di Indonesia itu hanya sekadar proyek belaka?

Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen yang menyatakan program pemberantasan radikalisme dan terorisme sebagai proyek semata, yang jelas program ini sasaran dan korbannya kepada umat Islam.

Wajar Muhammadiyah yang secara tegas menolak ajakan BNPT untuk bersama-sama memerangi radikalisme dan terorisme di Indonesia atau menolak untuk bergabung dalam program deradikalisasi di Indonesia.

“Muhammadiyah berdiri sejak 1912, jauh sebelum Republik ini berdiri, apalagi BNPT. Kami sudah berpengalaman menangani soal radikalisme,” papar Pak Din.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *