SEMARANG, Hajinews.id – Ketua Majelis Ketua Majelis Masyayikh KH Abdul Ghofarrozin mengkhawatirkan maraknya pseudo pesantren atau ulama yang dimaksud pesantren abal-abal atau ulama palsu seiring penetapan UU No. 18/2019 Tentang Pesantren.
Sebelum adanya UU Pesantren, tahun 2016 jumlah pesantren di Indonesia sekitar 25.000-26.000. Namun, pada saat terbit UU Pesantren tahun 2019 bertambah pesat menjadi 28.900 dan tahun 2022 bertambah lagi menjadi sekitar 38.000.
“Maka, pseudo pesantren harus dilawan,” tegas Gus Rozin dalam Halaqah Ulama Nusantara, di Hotel Ciputra Simpanglima Semarang, Selasa (8/11).
pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda (PPMH) Kajen, Margoyoso Pati itu menduga, kenaikan tersebut karena ada pesantren yang didirikan hanya untuk mendapatkan fasilitas dari negara. “Pesantren sebagai konsekuensi dari pelaksanaan UU Pesantren, sehingga pesantren-pesantren ini sebenarnya tidak memenuhi syarat dan rawan terjadi penyimpangan. Mendirikan pesantren bukan karena li maslahatil ummah (untuk kebaikan umat) tetapi karena tujuan lain,” katanya.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Prof Dr Imam Taufiq MAg menjelaskan, kegiatan tersebut merupakan kerja sama UIN Walisongo dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah. Diikuti pengurus MUI Jateng, MUI Kabupaten/Kota se-Jateng dan para pejabat di lingkungan UIN Walisongo. Halaqah selama dua hari yang dibuka Gubernur Ganjar Pranowo menghadirkan pembicara
Ketua Majelis Masyayih KH Abdul Ghofarrozin, Direktur Pondok Pesantren Kementerian Agama Prof Dr KH Waryono Abdul Ghofur, KH Ahmad Badawi Basyir pengasuh Pondok Pesantren Daarul Falah Jekulo Kudus dan Prof Dr H Nur Syam MSi.
Menurut Imam Taufiq, Imam Taufiq MAg sejak dulu hingga sekarang pesantren menarik didiskusikan. Belakangan muncul berbagai persoalan menyangkut pondok pesantren seperti ditemukan kasus antitoleran, kekerasan dan lain-lain. ‘’Pesantren makin menarik diperbincanhkan pasca UU Pesantren. Yang menarik jumlah santri lebih banyak santri putri dibanding santri laki-laki sementara pengasuhnya kiai laki-laki,’’ kata pengasuh Pesantren Besongo Daarul Falah Semarang itu.
Gubernur Ganjar Pranowo ketika membuka halaqah memuji metode Pendidikan pondok pesantren yang meletakkan dasar-dasar akhlak dan karakter kepada santri. Dia menyebut di pesantren seorang santri sangat takdzim dan tawaduk kepada kiainya dan hubungan kiai santri sampai mati. Setelah munculnya Undang-undang Pesantren pihaknya mendorong untuk terbitnya Perda Pesantren dan berbagai peraturan sebagai turunan dari undang-undang tersebut.
Pseudo Ulama
Menurut Gus Rozin, gejala munculnya pseudo ulama ditandai dengan status murah. ‘’Gelar ustadz dipakai siapa saja tanpa standar keilmuan. Relasi kuasa yaitu kiprah publik bukan untuk kemaslahatan, namun membangun relasi kuasa. Umat sama dengan tahta yaitu umat dipandan sebagai sumber pendapatan ekonomi, bukan untuk dilayani,’’ katanya. Yang lebih parah lagi menurutnya pidato tanpa isi. ‘’Isi ceramah dan atau tulisan yang dangkal keilmuan Islam, ditambah bumbu cacian,’’ katanya
Menurut Gus Rozin, cara melawan pseudo pesantren adalah dengan berpikir melompati kekhasan pesantren, melakukan kampanye publik dan countering terhadap stigma pesantren, melawan dengan melukis prestasi dan memberikan bukti harapan publik terhadap pesantren dapat terpenuhi, meningkatan mutu, serta menguatkan jaringan untuk konsolidasi pesantren asli.
Gus Rozin mengharapkan, profil ulama ke depan yakni otoritatif, penguasaan mendalam, membaca alam, berkarya-menulis, kemaslahatan pelayanan dan bersama kebijakan publik.
‘’Otoritatif maksudnya memiliki prasyarat dasar penguasaan wacana agama (gramatika bahasa, hafalan Al-Qur’an dan Hadits, istinbath hukum, dan bacaan yang luas). Otoritas keagamaan harus diberikan kepada ulama pondok pesantren. Jangan diberikan kepada artis yang baru belajar dalil satu dua ayat,’’ katanya.
Penguasaan mendalam menurut Gus Rozin profil ulama memiliki tingkat kedalaman dan keluasan atas bidang khusus (tertentu) dalam ilmu pengetahuan Islam.
‘’Membaca alam yang dimaksud yaitu up to date terhadap perkembangan zaman (pengetahuan, informasi, teknologi). Ulama berkarya-menulis sebaiknya ulama memproduksi gagasan dan narasi, bukan hanya mengkonsumsi narasi. Kemaslahatan-pelayanan yaitu dengan menjaga karya dan kerja untuk kemaslahatan umat, mengedepankan pelayanan dan hidup wara. Sedang bersama kebijakan publik, profil ulama mendorong hadirnya ruh almaqashid al-syariah dalam kebijakan publik, agar melindungi dan melayani,’’ katanya.