Harapan Permohonan Maaf Kepada Keluarga Besar Soekarno Kandas oleh Amandemen UUD

Harapan Permohonan Maaf Kepada Keluarga Besar Soekarno
patung soekarno
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Hajinews.id – Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno ditetapkan 12 Maret 1967. Memang sudah cukup lama, 55 tahun silam, tetapi dampak turbulensinya terasa hingga sekarang.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

MPRS ketika itu berpendapat bahwa pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada 22 Juni 1966, yang kemudian dilengkapi dengan surat presiden tentang Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967, tidak memenuhi harapan rakyat. Artinya tidak diterima oleh MPRS.

Dalam butir a pertimbangan, MPRS berpendapat bahwa Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI.

Pada prinsipnya, pencabutan kekuasaan Presiden / Mandataris MPRS oleh MPRS memang merupakan hak dan wewenang MPRS sebagai lembaga tertinggi negara, sesuai konstitusi yang berlaku ketika itu, di mana wewenang MPR(S) lebih tinggi dari Presiden. Sehingga keputusan pencabutan kekuasaan ini sah menurut konstitusi, dan tidak bisa dipermasalahkan oleh siapapun.

Peristiwa hampir serupa, tapi tidak sama, terjadi pada Presiden BJ Habibie, di mana pertanggungjawabannya tidak diterima oleh MPR pada sidang istimewa tahun 1999. Perbedaannya, MPR tidan mencabut kekuasaan Presiden Habibie, yang tetap menjabat sebagai Presiden hingga pemilihan Presiden berikutnya setelah pemilu 1999.

Tetapi Habibie sadar bahwa dukungan politik kepadanya sangat rendah sehingga yang bersangkutan memutuskan untuk mundur dari bursa pencalonan Presiden pada pemilihan berikutnya. Keputusan ini patut dihargai sebesar-besarnya, dan menempatkan Habibie sebagai negarawan sesungguhnya.

Yang menjadi persoalan bukan pemberhentian Presiden Soekarno oleh MPRS. Tetapi salah satu alasan pemberhentian tersebut yang menurut pihak tertentu sangat mencoreng dan merugikan nama Soekarno , karena dianggap mendukung G-30S-PKI.

Apalagi Pasal 6 TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tersebut berbunyi “Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno , dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.

Masalahnya, penyelesaian persoalan hukum tersebut tidak pernah ditindaklanjuti hingga Soekarno (Bung Karno) meninggal tahun 1970, membuat persoalan hukum ini tidak mungkin lagi dapat ditindaklanjuti setelah itu.

Setelah sekian lama berlalu, Presiden Soeharto / Mandataris MPR kemudian memberi gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno dan Bung Hatta melalui Keputusan Presiden pada 1986. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian mempertegas dengan memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno dan Bung Hatta melalui Keputusan Presiden pada 2012.

Apakah gelar Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional kepada Bung Karno ini sebagai pengakuan negara bahwa Soekarno tidak terkait peristiwa G-30-S/PKI? Apakah gelar Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional tersebut sudah cukup memulihkan nama Bung Karno sesuai harapan para pendukung dan keluarga besar Bung Karno?

Di samping itu, TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 juga sudah dibatalkan oleh TAP MPR No 1/MPR/2003, dan dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.

Tetapi, ada beberapa kalangan masyarakat merasa semua itu belum cukup, dan berharap pemerintah Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada Soekarno dan keluarga besarnya karena pernah mengeluarkan TAP MPRS tersebut.

Pertanyaannya, apakah bisa? Apakah secara hierarki kelembagaan negara dimungkinkan?

Karena yang mengeluarkan TAP MPRS adalah lembaga MPR(S) yang mempunyai kedudukan dan wewenang lebih tinggi dari pemerintah (atau presiden sebagai mandataris MPR(S)), maka, logisnya, pemerintah tidak bisa minta maaf atas keputusan MPR(S) tersebut.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *