Seorang Gelandangan

Seorang Gelandangan
Emha Ainun Nadjib
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



la tak menunjukkan isyarat yang lain.

“Tidak sahkah pada pikiranmu jika sesuatu yang ada berusaha memperoleh sesuatu umpamanya dari yang paling sederhana saja? Makanan, minuman untuk tenggorokan dan perut. Pakaian buat membungkus badan. Kendaraan untuk tidak menyiksa kaki. Rumah buat berlindung dari matahari dan hujan. Sistem pendingin udara untuk menghindarkan kegerahan. Senjata-senjata untuk membela diri. Cara dan susunan kehidupan untuk mendisiplinkan pergaulan. Sekadar alat-alat ala kadarnya untuk memenuhi keinginan untuk nikmat dan senang. Tidak layakkah sesuatu berusaha memperoleh benda-benda atau gaya-gaya sekadar untuk memanfaatkan sedikit kesempatan berada dalam keberadaan?”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ia tetap kokoh dalam kediamannya.

“Baiklah. Barangkali aku telah salah sangka terhadap segala sesuatu yang kuraih. Barangkali aku terlalu cepat meyakini ketercapaian, kebahagiaan atau pertemuan. Katakanlah aku telah dijebak oleh apa yang kuciptakan sendiri dan apa yang kucari karena kusangka akan menjawab keinginan-keinginanku. Katakanlah bahwa kerinduan adalah cakrawala. Katakanlah bahwa ia tidak bisa diselesaikan oleh seonggok benda atau hiburan-hiburan kecil yang menipu. Katakanlah bahwa masa silamku telah berpihak kepada sesuatu yang salah. Katakanlah. Tetapi katakanlah!”

Ia terus saja berjalan dan menatap ke satu titik di depan. Tidak menoleh dan tidak mendengarkan.

“Katakanlah bahwa jiwa dan badan sesungguhnya tak bisa dipersenyawakan, kecuali menyisihkan atau membunuh salah satunya!”

Ia setia pada keadaannya.

“Katakanlah bahwa masa silamku itu merupakan arena pertarungan antara keduanya!”

Ia tak tergerak dari sikapnya.

“Baiklah, aku memang telah terlampau menyederhanakan konflik itu. Tetapi katakanlah bagaimana membisu darinya?”

Ia tegak dalam dirinya.

“Aku telah kau pecah. Kau cecer-cecerkan. Rasa sakitku tak tertahankan. Sesungguhnya sejak lama aku memang ingin lenyap sama sekali. Tetapi tak ku tahu bagaimana meniadakan diriku. Lebih tak kutahu lagi bagaimana meniadakan diriku dalam adaku ini, seperti kamu. Ucapkanlah sepatah kata saja. Sepatah saja!”

Ia terus berjalan. Teguh dan utuh.

“Sepatah saja!”

Ia total. Bulat dan tegar.

“Atau, tidak diperlukankah kata?”

Ia diam. Menatap tajam ke satu titik di depan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *