Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-3): Menjadi Jamaah Pengajian

Menjadi Jamaah Pengajian
Dr Muhammad Najib, Duta Besar RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr Muhammad Najib, Duta Besar RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Hajinews.id – Kamis sore, udara Surabaya sangat cerah. Matahari mulai condong ke Barat saat Mujahid berjalan kaki meninggalkan rumahnya menuju Terminal Wonokromo yang berjarak sekitar lima ratus meter. Ia berjalan di antara becak dan pejalan kaki yang sangat padat, melewati lintasan rel kereta api yang menyebabkan jalanan sering macet. Sesampainya di Terminal, ia menuju tempat dimana bus kota berjajar. Setelah memperhatikan tulisan di atas bus kota dengan trayek yang ditujunya, Mujahid lantas naik. Ia mengambil tempat duduk di belakang sopir. Kebetulan ada satu kursi yang kosong di situ. Setelah bus penuh, sopir menempati tempat duduknya lalu menyalakan mesin bus.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bus meninggalkan Terminal Wonokromo menuju Terminal Jembatan Merah. Perjalanan melewati jantung Kota Surabaya yang sangat padat, sehingga perjalanan bus agak merayap. Belum lagi bus harus berhenti di setiap halte untuk menaikan dan menurunkan penumpang yang biasanya cukup padat di sore hari. Untuk mengisi waktu kosong di perjalanan, Mujahid membuka majalah Sabili dan membacanya.

Tanpa terasa, bus tiba di Terminal Jembatan Merah yang merupakan terminal terakhir rute bus itu. Seluruh penumpang turun. Sesuai saran Yazid padanya, Mujahid berjalan kaki melewati jembatan bercat merah. Sebuah jembatan bersejarah saat arek-arek Suroboyo mengusir penjajah dalam peristiwa Sepuluh November tahun 1945. Di seberangnya berjajar rapi becak-becak yang antre menanti penumpang. Ia mendekati becak yang berada paling ujung.

“Cak! Ngerti Masjid Syuhada di Ampel?”, Mujahidbertanya dengan logat Surabaya.

“Opo seng cedak Sasak iku mas?”, tanya tukang becak balik.

“Iku lho, seng ono pengajian ben malem Jumat”, jawab Mujahid menjelaskan, pura-pura tahu.

“Yo bener, wes…!”, sahut tukang becak yakin sambil mengangkat bagian belakang becaknya agar Mujahid mudah menaikinya.

“Monggo…!”, katanya mempersilahkan.

“Piro Cak?”, tanya Mujahid tentang ongkos becaknya.

“Biasa, Mas. Sepolo ewu!”, sahutnya sambil menggenjot becaknya.

Becak berhenti persis di mulut gang yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Di atasnya terpampang papan berwarna hijau bertuliskan: “Masjid Syuhada” bercat putih yang sudah agak lapuk digerus air hujan dan panasnya matahari. Mujahid mengamati papan itu, ia berpikir sejenak. “Insha Allah tidak salah”, ucapnya dalam hati. Ia lalu berjalan memasuki gang itu. Hanya tiga puluh meter dari jalan besar, di sebelah Kiri jalan terdapat sebuah masjid sederhana yang tidak terlalu besar. Dalam hatinya ia bertanya, “Apakah ini masjid yang dimaksud?”. Ia menatap berbagai sudut dan dinding masjid itu. Matanya kemudian tertuju pada sebuah tulisan dalam bahasa Arab yang berbunyi: Masjid Syuhada.

“Alhamdulillah akhirnya sampai”, pikirnya lega. Ia membuka sepatu, meletakkannya di rak sebelah tangga masuk. Beberapa orang sedang mengambil wudhu, sementara sebagian lagi tampak duduk melingkar sambil berdiskusi. Mujahid lalu mengambil wudhu, kemudian melakukan shalat tahiyatul masjid sebanyak dua rakaat. Setelah selesai, Ia berdoa dan berzikir.

Terdengar suara azan Magrib yang dikumandangkan oleh Muazin. Sementara azan berkumandang, Mujahid memperhatikan suasana ruangan. Para jamaah berangsur-angsur terus bertambah. Saat Ikamah dikumandangkan, para jamaah mengatur saf dengan rapi. Beberapa orang mengambil inisiatif memeriksa saf yang ada. Saat menemukan saf yang renggang, meminta jamaah untuk merapatkannya. Begitu juga saat ada saf yang bengkok, mereka segera meluruskannya. Sang Imam menghadapkan wajahnya kepada jamaah sambil menunggu saf betul-betul rapat dan lurus.

“Halas…!”, aba-aba petugas pemeriksa saf terdengar dari baris paling belakang. Sang Imam membalikkan wajahnya ke arah Kiblat, kemudian memulai shalat. Bagi Mujahid, adanya petugas pengatur saf merupakan pemandangan yang unik yang tidak Ia temukan di tempat lain. “Kayak baris-berbaris saja”, pikirnya.

Setelah mengucapkan salam, sang Imam membaca doa dengan pelan. Masing-masing jamaah juga berdoa. Ada yang mengangkat kedua telapak tangannya setinggi dada, ada pula yang mengangkat tangannya hampir setinggi kepalanya. Tapi ada yang hanya menghitung jarijarinya dengan menggunakan ibu jari sembari mengucap zikir. Suasana tertib, tenang, dan khusyuk sangat dominan di masjid ini.

Sang Imam lalu berdiri dan melaksanakan shalat Sunnah Ba’diah dua rakaat diikuti para jamaah. Mujahid menoleh ke belakang. Ternyata masjid penuh sampai baris paling belakang dan tidak satu pun jamaah yang meninggalkan tempatnya seusai shalat Sunnah. Seorang pemuda berjenggot lebat, mengenakan baju koko panjang hampir sampai ke lututnya, dengan kopiah putih di kepalanya, mengambil mike yang ada di mimbar.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *