Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-8): Menuju Pakistan

Menuju Pakistan
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



“Kami berhubungan intensif lewat e-mail, termasuk dengan teman-teman yang mengabdi di pesantren. Internet sangat menolong, tidak hanya cepat, tapi juga murah. Kami memanfaatkan fasilitas yang ada di kampus”.

Mereka terus mengobrol, sampai kemudian Didin melihat ke jam yang tergantung di dinding.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Sudah malam, Antum semua harus beristirahat yang cukup. Oh ya, hanya Antum yang belum menyerahkan paspor”, katanya sambil menatap Mujahid.

Hm… berarti Sofwan, Gufron, dan Rijali juga memiliki tujuan yang sama denganku, pikir Mujahid diam-diam. Mereka semua ingin berangkat ke Afghanistan.

“Ana akan ambil di kamar”, jawab Mujahid sembari mundur dari meja makan.

“Apakah Kami akan berangkat bersama-sama?”, tanya Mujahid sambil menyodorkan paspornya yang berwarna hijau.

“Ana usahakan”, jawab Didin.

Betul dugaanku, simpul Mujahid. Tidak salah lagi, ketiga orang pemuda itu juga akan berangkat ke Afghanistan. Sehabis sarapan pagi, Didin pergi sendirian membawa empat buah paspor mereka. Ia hanya berpesan, “Kalau mau jalan-jalan melihat suasana KL, jangan terlalu jauh. Dan kalau ketemu orang Indonesia, tidak perlu dIsapa!”, Ia berkata begitu sambil tersenyum.

“Memangnya kenapa?”, kejar Mujahid.

“Orang Indonesia di sini sering dipanggil Indon. Itu julukan melecehkan atau penghinaan”, kata Didin.

“Kenapa mereka bersikap seperti itu?”, tanya Mujahid.

“Para tenaga kerja Indonesia atau TKI khususnya yang ilegal banyak bikin masalah di sini”, jawab Didin.

Sebetulnya Mujahid ingin bertanya lagi, tapi Didin buru-buru pergi meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan. Dengan berjalan kaki Mujahid lalu meninggalkan rumah kontrakan itu. Ia bergerak menuju jalan raya sambil mengingat-ingat bangunan di sekitarnya, agar tak tersesat saat kembali. Mujahid lalu berdiri di tempat yang agak teduh di pinggir jalan. Ketika sebuah taxi lewat, Ia menyetopnya dengan melambaikan tangan. Tapi taxi yang disetopnya tidak mau berhenti. Kenapa taxsi itu tidak mau membawaku, padahal taxsi itu kosong? Pikir Mujahid. Apakah si sopir itu tahu kalau Aku orang Indonesia? Duganya. Ah! Barangkali sopirnya sedang ngelamun saja, pikirnya menyimpulkan.

Mujahid tetap berdiri di tempat semula sambil terus mengamati setiap kendaraan yang lewat. Ketika sebuah taxi kosong lewat, Mujahid buru-buru melambaikan tangannya kembali untuk memberi isyarat pada sang sopir agar berhenti. Sopir itu memandangnya sejenak, tapi kemudian meneruskan perjalanannya. Kurang ajar, dia tidak mau berhenti, gerutu Mujahid dalam hati. Seorang gadis yang melihat kejadian itu lalu mendekatinya.

“Encik pasti Indon, ya?”, sapa gadis melayu itu dengan santun.

“Kok Anda tahu?”, tanya Mujahid dengan ekpresi heran. Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Mujahid. Ia malah berkata,

“Kalau mahu naik taxi harus menunggu di halte. Kalau tidak di halte, taxinya pasti tidak mahu berhenti”, kata gadis itu menjelaskan. Mujahid tersenyum mentertawai diri sendiri.

“Terima kasih!”, katanya sambil tersipu malu.

Ketahuan deh, Aku Indon, serunya dalam hati. Mujahid lalu melangkah ke halte terdekat yang jaraknya hanya lima puluh meter. Ia melihat tiga orang berjajar menunggu kendaraan di sana. Tak lama kemudian sebuah taxi berhenti. Orang yang paling depan lalu naik ke taxi itu. Ooo….!, rupanya mereka sedang antre, simpul Mujahid. Ia lalu ikut berdiri di belakang orang yang berbaris itu. Satu per satu dari mereka pergi dengan taxi, sampai tiba gilirannya. Sebuah taxi berhenti tanpa Ia perlu melambaikan tangan.

“Selamat pagi! Encik nak ke mane?”, tanya sang sopir.

“Terserah aja Cik, pokoknya ke tempat yang menarik”, jawab Mujahid.

Oo, mahu pusing-pusing KL, ya? Bagaimana kalau nak pegi ke Menare Petronas?”, tanya sang sopir menawari Mujahid melihat menara kembar sekaligus kebanggan orang Malaysia. Menara Petronas adalah menara tertinggi di Malaysia.

“Bolehlah, Cik!”, jawab Mujahid coba-coba memakai dialek setempat.

Taxi itu meluncur di jalanan yang lebar dan bersih menuju tempat tujuan. Luar biasa Malaysia! Jalan-jalannya bersih, gedunggedungnya tertata rapi. Taman-taman kota terawatbaik. Jalan-jalan tidak terlalu macet. Dan yang paling mengagumkan, para pengendara dan pejalan kaki sangat disiplin, pikir Mujahid dalam hati. Kenapa Jakarta atau Surabaya tidak bisa? Padahal bahasa kita sama, warna kulit kita sama, budaya kita sama, bahkan agama kita sama, protesnya lagi.

Sungguh beruntung Malaysia punya Mahatir Muhammad, Mujahid menyimpulkan peran besar pemimpin Malaysia itu, yang berhasil membangaun bangsa dan negaranya.

“Di sini banyak orang Indonesia?”, tanya Mujahid basabasi.

“Banyaklah! Kite kan bersaudare. Saudare serumpun”, jawab si sopir.

“Diimana biasanya mereka tinggal?”, tanya Mujahid.

“Kalau mahu cari Indon gampang, kalau ada telepon publik yang rusak pasti banyak Indon disana”, jawabnya sambil tertawa.

Kurang ajar! Ngeledek, lu! Gerutu Mujahid dalam hati, tapi Ia berusaha menahan diri dan berpura-pura tidak mengerti guyonan sang sopir. Menjelang waktu Asar Ia kembali ke rumah, kemudian menjelang Magrib, Didin sudah mengantarkan empat lembar tiket berikut keempat paspor yang sudah diberi visa oleh kedutaan Pakistan di Kuala Lumpur.

“Antum berempat berangkat besok malam dengan pesawat Pakistan PIA”, kata Didin di ruang depan.

“Apakah Kami akan terbang lewat Pakistan?”, tanya Mujahid.

“Ya!”, jawab Didin tegas.

“Di kota mana Kami akan mendarat?”.

“Islamabad! Ibukota Pakistan ini di samping secara geografis jaraknya paling dekat ke Peshawar yang menjadi tujuan akhir perjalanan , juga kota ini merupakan kota terdekat dari perbatasan Afghanistan”.

“Besok berangkat jam berapa?”, tanya Sofwan.

“Ba’da Isya”, sahut Didin singkat.

“Siapa yang akan menjemput Kami disana?”.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *