Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-8): Menuju Pakistan

Menuju Pakistan
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



“Jangan khawatir! Kalaupun tidak ada yang menjemput, toh Antum pergi berempat. Apa Antum tkut?”, tanya Didin dengan nada menggoda.

“Bukannya takut, tapi…” Rizali menggaruk-garuk kepalanya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Sudahlah! Akan ada yang menjemput di Bandara Islamabad. Mereka akan menggunakan bendera merahputih sebagai tanda. Begitu saja. Sekarang istirahatlah. Siapkan diri untuk penerbangan esok”, ucap Didin.

Pertemuan malam itu usai. Mereka kembali ke kamar masing-masing untuk tidur. Keesokan harinya Didin mengajak Mereka semua untuk shalat Asar berjamaah di ruang belakang yang difungsikan sebagai mushala. Didin memimpin shalat kali itu. Seusai memberikan salam kemudian mereka berdoa. Usai berdoa, Didin membalikkan badannya, menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Mereka satu per satu.

“Antum siap-siap sekarang. Jangan ada barang-barang yang ketinggalan. Ana akan menyiapkan mobil”. Beberapa menit kemudian pemuda-pemuda itu sudah siap berangkat ke Bandara Internasional Kuala Lumpur yang sering disingkat KLI.

“Karena tidak ada yang membawa koper besar, maka sebaiknya semua barang-barang dibawa saja ke atas pesawat dan disimpan di kabin”, saran Didin.

“Maaf Ana kurang paham”, tanya Mujahid.

“Saat check in di bandara atau waktu mengambil boarding pass, barang-barang jangan diserahkan. Antum pegang saja. Kalau ditanya petugas bilang saja mau disimpan di kabin. Antum simpan semua barang di atas tempat duduk, agar saat keluar nanti bisa lebih cepat”, kata Didin menjelaskan.

Setelah semua mengerti, Didin mengambil posisi di belakang kemudi. Ia lalu mempersilakan semuanya untuk naik ke mobil.

“Antum saja yang di depan”, kata Rizali pada Mujahid sambil masuk dan duduk di kursi belakang diikuti yang lain. Mujahid lalu duduk di depan.

“Kami ini sebetulnya rombongan yang ke berapa, Bang?”, tanya Mujahid pada Didin.

“Wah, Ana tidak ingat lagi”, jawab Didin.

“Sejak kapan Antum membantu kawan-kawan seperti Kami ini?”, tanya Mujahid lagi.

“Sejak enam bulan lalu”, jawab Didin.

“Setiap bulan berapa orang yang berangkat?”.

“Setiap minggu, antara lima sampai sepuluh orang.”

“Apakah Antum satu-satunya yang melakukan kegiatan seperti ini disini?”.

“Untuk membantu teman-teman yang berasal dari Indonesia ada tiga atau empat kelompok. Ada juga yang membantu kawan kawan yang datang dari Thailand atau Filipina. Ana tidak tahu berapa banyak. Tapi yang jelas, mereka yang datang dari Thailand dibantu oleh saudara Kita dari Thailand juga, begitu pula yang dari Filipina.”.

Tanpa terasa mobil sudah tiba di bandara Kuala Lumpur. Didin meminggirkan mobilnya. Mereka cepat-cepat turun dan bergegas mengeluarkan barang-barang dari bagasi.

“Di sini tidak boleh parkir lama-lama”, kata Didin.

Ia menyalami dan memeluk keempat pemuda itu satu per satu.

“Selamat jalan dan selamat berjuang!”, katanya berbisik pelan.

“Antum masuk dari pintu sini!”, Ia menunjuk pintu dimana para penumpang masuk. Setelah itu tanpa menoleh lagi Didin naik ke mobil lalu bergegas meninggalkan tempat
itu.

(Bersambung…)

banner 800x800