Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-9): Memasuki Peshawar

Memasuki Peshawar
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Karya: Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Hajinews.id – Pesawat terguncang agak keras sehingga mengagetkan Mujahid yang tertidur lelap. Ia menyingkap selimut yang menutupi sekujur tubuhnya dari udara dingin  dalam pesawat. Ia menoleh ke Kanan, tampak Rizali mengusap-usap matanya sembari menguap tanda Ia masih mengantuk. Sementara yang lainnya masih tidur lelap. Mujahid menoleh ke luar jendela, tampak lampulampu Bandara Internasional Islamabad. Pesawat terus menggelinding makin lama makin pelan. Beberapa kali suara pramugari menyebut-nyebut nama Islamabad dalam bahasa Urdhu dan Inggris yang tidak begitu Ia pahami.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mujahid membangunkan ketiga orang temannya. Penumpang yang lain mulai berkemas-kemas merapikan pakaian dan bawaan Mereka yang diletakkan di bawah tempat duduk. Pramugari terus memberikan aba-aba agar penumpang tidak bergerak sebelum pesawat berhenti dengan sempurna. Lampu bergambar sabuk dilepas lalu menyala, pertanda penumpang sudah boleh meninggalkan pesawat.

Mujahid dan kawan-kawan keluar beriringan, “Jangan lupa perhatikan orang yang membawa bendera merahputih”, ucap Mujahid mengingatkan. Bandara tampak sepi, hanya beberapa orang pegawai berseragam dan petugas keamanan yang tampak berjaga-jaga dengan malas-malasan. Para penumpang terus bergerak keluar beriringan. Sampai pada pintu kaca yang terbuka secara otomatis, barulah mereka melihat para penjemput yang bergerombol di balik pembatas.

Tampak selendang merah-putih dikibar-kibarkan oleh seseorang bertubuh pendek di antara orang-orang Pakistan yang jangkung. Orang itu mengenakan celana dan baju panjang sampai ke lutut ala Pakistan. Namun wajahnya tampak asli Indonesia. Ia mengenakan kopiah putih dan jenggotnya yang jarang, Panjang, serta kurang rapi dibiarkannya terurai.

“Ahlan wasahlan wa marhaban fi Islamabad”, katanya menyapa dengan ucapan selamat datang dalam bahasa Arab. Mujahid dan kawan-kawan hanya tersenyum sambil saling pandang.

“Kenalkan Ana Syakur, yang diberi tugas menjemput Antum semua”, Ia tersenyum ramah sembari menjabat tangan tamunya satu per satu.

“Dingin, ya?”, katanya lebih lanjut.

“Sekarang di Pakistan dan Afghanistan sedang musim dingin, jadi kalau Antum bawa jaket dipakai saja biar tidak kedinginan”, sarannya.

“Sebentar lagi akan masuk waktu Subuh, Kita sebaiknya ke masjid dulu untuk beristirahat sambil menanti datangnya waktu Subuh”, katanya sambil mempersilakan Mujahid dan kawan-kawan masuk ke dalam mobil.

Mobil yang mirip Toyota Kijang itu dikemudikan oleh seorang lelaki berwajah Pakistan yang memakai serban Afghan. Setelah semua tamunya naik ke mobil, Syakur lalu duduk di sebelah sopir.

“Yang nyupir ini sahabat lama Ana, Kami sudah bersahabat sejak masih kuliah di Karachi”, katanya sambil menepuk-nepuk punggung sang sopir.

“Dia orang Pakistan atau Afghanistan?”, tanya Rozali.

“Pakistan, tapi sekarang dia lebih banyak di Afghanistan.

“Dia bisa berbahasa Indonesia?”, tanya Mujahid.

“Tentu tidak, kecuali kata-kata selamat makan atau selamat minum”, jawab Syakur bercanda.

“Di sini, Kami menggunakan bahasa Arab atau Bahasa Inggris. Hanya sesekali menggunakan bahasa Urdhu, bahasa yang banyak digunakan orang Pakistan. Tapi dia sekarang juga bisa bahasa Pashtun, bahasa yang banyak digunakan orang Afghanistan”.

“Siapa namanya?”, tanya Gufron.

“Amjad Khan, panggil saja dia Amjad”.

Syakur memegang kembali punggung Amjad. Lelaki bernama Amjad itu tampaknya tahu kalau dirinya menjadi subjek pembicaraan. Ia terus tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali Amjad menanyakan rute jalan yang ingin ditempuh pada Syakur dengan menggerak-gerakan tangannya. Jalan-jalan di kota Islamabad bersih dan tertata rapi. Banyak bangunan megah dan besar. Barangkali karena masih di ambang fajar, tidak banyak kendaraan dan warga kota yang berkeliaran di jalanan. Taman-taman kota tampak indah di bawah payung langit yang masih gelap. Mereka berhenti di depan sebuah masjid yang sangat besar di pusat kota,

“Indah sekali masjid ini”, ujar Mujahid.

Ia langsung bersujud mencium lantai marmer putih mengkilap masjid itu. “Alhamdulillah, Allah menakdirkan saya mengunjungi masjid semegah ini”, kata Mujahid.

“Apa nama Masjid ini?”, tanya Mujahid pada Syakur.

“Ini Masjid King Faisal yang sangat terkenal itu. Fotofotonya banyak menghiasi kalender dan hiasan dinding di masyarakat Muslim di berbagai negara. Namanya diambil dari nama salah seorang Raja Saudi Arabia. Saat perang Arab-Israel tahun 1973, Raja Faisal adalah seorang pemimpin Arab yang berhasil mempersatukan, sekaligus memobilisasi kekuatan negara-negara Arab, sehingga mereka dapat melakukan boikot untuk tidak mengekspor minyak ke negara-negara Barat. Akibatnya Amerika dan negara-negara di Eropa lumpuh perekonomiannya. Dana untuk membangun masjid ini sebagian besar berasal dari sumbangan Kerajaan Arab Saudi yang kaya itu”, jelas Syakur.

Mereka mengambil wudhu. Mujahid yang selesai lebih awal berjalan menuju saf paling depan. Ia menoleh ke Kiri dan ke Kanan, memperhatikan bangunan dan orang-orang yang ada di situ. Orang-orang Pakistan rupanya gemar memelihara jenggot. Walau berambut hitam, tapi jenggot orang Pakistan berwarna kuning kemerah-merahan. Orang-orang membaca Al-Quran dengan penyebutan dan lagu yang terasa ganjil di telinganya. Mujahid juga mencium aroma yang tidak lazim. Mungkin ini bau yang berasal dari kemenyan Arab, pikirnya. Setelah shalat Subuh berjamaah, Syakur memberikan isyarat kepada teman-temannya untuk kembali ke mobil.

“Kita berangkat sekarang menuju Peshawar”, ujar Syakur sambil bergerak.

“Berapa jauh Kota Peshawar dari Islamabad?”, tanya Mujahid.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *