Saksi Zina, Siapa Berani?

Saksi Zina
Saksi Zina
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Ustadz Muhammad Yakub Yahya, Sekretaris Umum WH (September 2003-Mei 2004), Subbag Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Aceh.

Hajinews.id – Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, jilid 4, zina ialah suatu persetubuhan di luar pekawinan yang sah yang dilakukan laki-laki dan perempuan, baik masing-masing terikat perkawinan yang sah, sudah pernah hubungan kelamin dalam ikatan nikah yang sah dan sekarang menjadi duda atau janda, maupun janda atau gadis. ‘Raqan’ juga akan menampung aspirasi atas kejahatan yang di ‘bawah level’ atau mirip dengan zina.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Diperluas di sini ‘ikhtilat’ (bermesraan, berpelukan, berciuman, bukan sama muhrimnya), pelecehan seksual (perbuatan cabul), pemerkosaan (melakukan seks dengan kekerasan), ‘qadzaf’ (menuduh orang berzina tanpa bukti), ‘liwath’ (hubungan seks sesama laki-laki), dan ‘musahaqah’ (hubungan seks sesama perempuan).

Semua kejahatan (kriminal) berbahaya dan membahayakan saudara lain, apalagi penuduhan zina ( ‘jinayat qadzaf’) atas wanita dan pria yang baik-baik, tanpa alasan yang jelas. Firman Allah SWT:
“Seandainya mereka tidak dapat mendatangkan empat saksi atas tuduhannya itu, maka saat itulah mereka disebut orang-orang yang bohong di hadapan Allah.” (QS. An-Nur: 23).

Allah juga berfirman:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita suci (berzina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 4).

Dua ayat tersebut di atas mengisyaratkan mesti empat saksi dalam qadzaf. Fardhu ‘ain atas orang Islam, memberi kesaksian jika dibutuhkan, dan sebaliknya jika naik saksi padahal bohong, atau kurang saksi (terlanjur menuduh), kitalah si pendusta itu, karena duluan membohongi Allah, di samping mencemarkan nama baik saudara kita.

Empat saksi

Kemutlakan empat saksi dalam penuduhan zina antara lain karena, hudud bagi penzina sangat berat: rajam jika pelaku sudah nikah (muhshan), atau jilid 100 kali kalau pelaku belum nikah ghairu muhshan).

Dalam Qanun Jinayat, bagi pelaku pemerkosa, yang korbannya anak-anak hukuman cambuknya paling sedikit 150 kali cambuk dan paling banyak 200 kali cambuk.

Sungguh, amat berat menghadirkan empat saksi dalam aksi memalukan itu, yang Allah mengisyatkan dalam QS Al-Isra’ ayat 32, “Jangan kita dekati zina, sungguh itu keji, sungguh ia sejahat-jahat jalan pelampiasan syahwati.”

Jika mengandalkan alat canggih seperti sekarang, sebagaimana untuk nikah jarak jauh, cerai via sms, itu pun jadi ajang perdebatan, dan sarat penipuan. Ini mengisyaratkan keinsafan. Seakan, jika ibu `anak tak berayah’ itu taubat nashuha, betul-betul insaf, tanpa membuka aibnya pada manusia pun, insya Allah akan ampuni.

Dalam lima mazhab yang saya kaji di Perpustakaan UIN Ar-Raniry, misalnya karya Ali Bakar Ali ar-Razy al-Jashash, Ahkam al-Qur‘an juz 3; Kamaluddin Ibnu al-Humam, Syarh Fath al-Qadir juz 4; Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur‘an juz 5; ‘Alauddin al-Hanafy, Mu’in al-Hukkam (Hanafiyah); Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid juz 1-2; Ibnu ‘Araby, Ahkam al-Qur‘an juz 3; Az-Zarqany, Syar Az-Zarqany juz 7 (Malikiyah); Imam an-Nawawy, Al-Majmu’Syarah al-Muhazzab juz 20; dan sejumlah kitab lainnya, umumnya mensyaratkan:

  • empat saksi,
  • laki-laki yang Islam,
  • berakal (bukan gila, jawai, pikun, dan pelupa),
  • melihat langsung atau “live” (bukan buta dan kabur),
  • baligh, dan
  • merdeka.

Sama saja untuk penuduhan liwath, menurut Syafi’iyah, mesti empat saksi. Malikiyah dan Ahmad menerima saksi anak-anak atas perlukaan, pencederaan, dan pendarahan saja, bukan zina.

Bahkan Ibu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, memaknakan ayat 282 dari QS Al-Baqarah, “…dari mereka (saksi-saksi) yang kamu ridhai…” masuk syarat tak emosional dan sentimental.

Dalam ‘Fiqh Sunnah’ ditambah juga, syarat agar tak ada ‘tuhmah’ (tendensius, dendam, kasihan, dan kepentingan pribadi). Maka hanya Hanafiyah yang membolehkan suami masuk saksi empat itu, sedangkan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, empat saksi itu, selain suami.

Ahmad, Zahiri, Anas, Syuraih, dan Zurarah bin Aufa menerima kesaksian hamba atas hamba sahaya. Ibnu Sirin menerima saksi sahaya atas tuannnya, dulu. Zahiri membelohkan saksi wanita untuk zina, tapi delapan orang (gantian empat pria).

Syarat lainnya, bisa berbicara, menurut Syafi’iyah dan Malikiyah. Orang bisu, tak bisa jadi saksi zina, tapi bisa diterima dalam kesaksian nikah, ila’:(sumpah-serapah tak mau bergaul dengan istri, tapi ke ranjang itu juga), dan zihar (menyamakan anggota badan istri dengan muhrimnya).

Orang buta juga tak bisa, kecuali untuk kasus kematian, kelahiran, keturunan, kepemilikan, waqaf, dan kontrak ( akad).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *