Saksi Zina, Siapa Berani?

Saksi Zina
Saksi Zina
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Syaratnya pula, kasus zina itu tak kadaluarsa, alias ‘hangat’. Saksi juga bukan yang sekunder (mendengar dari saksi primer). Persaksian dalam satu lokasi, tidak beda informasinya, atau kompak dalam kabarannya.

Dan yang paling sulit kini di Aceh, adalah syarat si penuduh bisa ‘muruah’ (terpercaya, akhlak baik, dan menjaga marwahnya).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kita yang tak dinilai muruah, misal makan di pinggir jalan, berjalan membuka kepala (dalam situasi tertentu), berpelukan dengan istri di hadapan kahalayak, main catur, dan banyak canda, tidak bisa diterim kesaksianya
( ‘Mughny a-Muhtaj’, juz 4, hal.427).

Saling menunjang

Lebih dari sekadar hukum dan sanksi. Semua qanun, fiqh, dan antara elemen syariat itu saling menunjang, bukan hanya yang ‘mata ke bawah’. Sedangkan yang ‘mata ke atas’ diperlambatkan, seperti korupsi. Maka perlu seiring sejalan antara qanun muamalah dengan jinayat, misalnya.

Kejahatan marak, karena ketidakadilan dan ketimpangan dari saudara kita yang kaya mendadak di sebelah saudaranya, yang belum tahu, menu apa nanti siang. Qanun pendidikan sejalan dengan misalnya jinayat ( ‘qadzaf’). Keenakannya warga, termasuk kita yang kabarnya berpendidikan, mengumpat, menuduh tanpa dalil, dan menghakimi ‘tanpa pegang palu’ (bukan hakim), lantaran pendidikan akhlak dan tauhid yang rendah. “Siapa yang beriman akan Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata benar, atau diam,” ajak Nabi Muhammad Saw. Sarannya pula, “Siapa yang menutup (‘aib) saudaranya di dunia, niscaya Allah akan menutup (‘aib)nya di akhirat.”_
(HR. Muslim).

Sejujurnya, yang lebih tinggi dari sekadar qanun adalah kemaafan jika terlanjur menzalimi saudara lain. Langkah yang agung ialah mohon ampun, sesegera mungkin sebelum malaikat kiri mencatat, atau tutup rapat aib saudara kita yang baik-baik –yang menjual diri memang sudah terbuka duluan.

Kasus masa Rasulullah, hanya hukuman zina dijatuhkan, karena ikrar, bukan atas dasar kesaksian. Ada wanita hamil, masa Nabi di Madinah, mengadu soal mandul, hasil zina. Rasulullah menangkap hasrat keinsafan dan spirit taubatnya. Nabi tak merajam, tapi memintanya pulang hingga lahir anak suci itu.

Usai ‘wiladah’ (pasca melahirkan), ibu malang ini kembali, Nabi menunda rajam, hingga usai menyusui. Baru dirajam, usai menyusui, dan muncratan ‘darah taubat’-nya seakan menyaingi iman sahabat waktu itu, jawab Nabi atas komplain dan penilaian sahabat –saat Umar ra merasa tersinggung dengan darah yang mengenakan kainnya.

Pada masa Khalifah Umar, misalnya, juga dihukum atas dasar pengakuan. Jika ada yang didera atas dasar kesaksian, justru yang menuduh yang didera 80 kali, sebab kejahatan ‘qadzah’ itu.

Dalam Qanun Aceh terkait Jinayat ini, juga mengenakan hukuman 80 kali cambuk bagi ‘qadzaf’. Juga bisa dipenjara paling lama 40 bulan, bagi penuduh yang gagal membawa saksi lain ke mahkamah. Selain dua jenis hukuman tersebut, pelaku qadzaf juga bisa dikenakan denda atau uqubat kompensasi/ganti kerugian paling banyak 400 gram emas murni. Terlepas dari sanksi, kasus masa awal Islam, semua terbukti atas dasar kesadaran, juga pengakuan, bukan kesaksian. Nah, siapa berani menjadi saksi zina?

Wallahu a’lam bish-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *