Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-14): Menanti Kabar Buah Hati

Menanti Kabar Buah Hati
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Karya: Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

SERI-14

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Hajinews.id – Siang dan malam, Bu Bisri terus berharap datangnya selembar surat atau sepotong cerita tentang putra sulungnya. Tapi, hari berganti hari, minggu berganti minggu, sampai bulan berganti bulan, yang dinanti tak kunjung datang. Padahal, setiap kali usai shalat lima waktu, Ia tak pernah putus berdoa untuk keselamatan sang putra, juga harapan agar anak kesayangannya itu segera dikembalikan Allah ke pangkuannya. Bahkan tidak jarang, saat malam sunyi, ketika kebanyakan orang dibuai mimpi, Ia bangun dan membasahi wajahnya dengan air wudhu untuk melakukan shalat malam. Dalam shalatnya, seringkali air matanya mengucur deras membasahi pipinya. Bagi Bu Bisri, Allah satu satunya Zat tempat dia mengadu dan memohon. Semula Ia berharap banyak pada sang Suami pengertiannya dan usahanya yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan alamat sang putra. Berkali-kali Ia mencoba, tapi jawaban yang didapat tidak sebagaimana yang diharapkan. Walaupun sangat kecewa terhadap sikap acuh Suaminya, Ia tidak pernah putus asa untuk mencoba dan mencobanya kembali.

“Pak, apa sudah ada kabar dari Mujahid?”, tanyanya kepada sang Suami dengan berat hati.

“Insya Allah anak Kita baik-baik saja, Ia kan berada di tanah suci”, jawab Pak Bisri dengan nada datar.

“Ya sih, tapi kan mestinya dia telepon kek atau buat surat, agar Kita tahu keadaannya”.

“Mungkin dia sibuk, sehingga belum sempat menulis surat, kalau telepon kan mahal, Bu”, jawab Pak Bisri.

“Masak sudah enam bulan nggak sempat, perasaanku nggak enak, Pak”, kata si Ibu bernada protes.

“Berdoalah pada Allah, semoga anak Kita dalam keadaan baik”.

“Bapak kan punya banyak kawan, cobalah tanya pada mereka. Kan banyak juga orang yang berangkat cari kerja kesana. Barangkali mereka pernah jumpa, atau tahu di kota mana Mujahid kerja”.

“Saudi Arabia itu kan luas, Bu! Kalau tidak satu kantor, bagaimana mungkin bisa jumpa”, jawab Pak Bisri sambil mengambil buku dan membukanya.

Sebetulnya Bu Bisri ingin terus mengajaknya bicara, atau mendiskusikannya dengan serius. Tapi melihat cara sang Suami yang tidak bergairah, menyebabkan Ia tidak punya pilihan lain kecuali mengakhirinya dengan kecewa. Tanpa sepengetahuan sang Istri, diam-diam Pak Bisri sebetulnya terus menjalin kontak dengan sahabat-sahabat lamanya yang Ia kenal ketika mereka sama-sama kuliah di IAIN Sunan Ampel. la terus mencari tahu kemana anaknya pergi. Saat mengetahui anaknya di Afghanistan, Pak Bisri sangat kaget. Tapi Ia tetap merahasiakannya. Pertama, Ia khawatir istrinya akan sangat menderita bila tahu apa yang terjadi sebenarnya, dan mungkin akan membayangkan yang bukan-bukan. Maklum perempuan kan lebih emosional, dan kurang bisa menahan diri, pikirnya. Kedua, bila para tetangganya tahu, Ia khawatir berita itu akan sampai ke telinga aparat, tentu urusan akan menjadi panjang. Karena itu, Ia bertekad untuk tetap merahasiakannya.

“Assalamu’alaikum!”, terdengar suara salam dari seorang gadis”.

“Wa’alaikum salam!”, sahut Bu Bisri sambil bergegas membuka pintu depan.

“Eh, kamu Nur! Ibu pikir siapa”.

“Saya disuruh Ibu mengantar ini”, kata Nur sambil menyerahkan piring yang tertutup daun pisang.

“Apa ini, Nak?”, tanya Bu Bisri berbasa-basi sambil mengangkat piring itu, kemudian menyingkap sedikit daun pisang yang menutupinya.

“Kebetulan Ibu lagi iseng bikin kue, jadi sebagian dikirim ke sini”.

“Ibumu memang pinter bikin kue, Kamu harus belajar banyak padanya”, puji Bu Bisri. Nur Jannah tersipu mendengarnya.

“Eh, sampai lupa. Ayo! Ayo, duduk dulu”, kata Bu Bisri sambil menggandeng tangan Nur Jannah ke kursi.
“Nak Nur, meskipun Kamu tidak pernah bercerita, tapi Ibu bisa merasakan apa yang Kamu rasakan saat ini. Ibu kan pernah muda sepertimu”, katanya membuka pembicaraan.

Nur Jannah tidak mengeluarkan sepatah kata pun, wajahnya yang sendu tampak semakin muram. Ia menundukkan kepalanya, sambil merapikan kerudung putih yang dikenakannya.

“Ibu yakin, Kamu pasti ingin mendengar kabar tentang Mujahid. Atau mungkin Kamu ingin bertanya, kenapa Ia tidak pernah menghubungimu. Hal itu sangat wajar dan Kamu patut menanyakannya”, kata Bu Bisri dengan nada sedih.

“Terus terang, Ibu khawatir, jangan-jangan Ibumu nanti salah paham. Atau menduga yang bukan-bukan. Dengarlah baik-baik! Ibu merestui hubungan kalian berdua. Ibu tidak punya rencana lain dan tidak punya calon lain selain Kamu”, katanya.

“Nur percaya, Bu!”, terdengar suara Nur serak tertahan.

Ia kemudian mengeluarkan saputangan dari saku bajunya. Ia menempelkan saputangan itu pada ujung matanya, sambil tetap merunduk menghindari tatapan Bibinya.

“Ibu juga heran, kenapa Mujahid sama sekali tidak pernah berkirim kabar sejak Ia meninggalkan tanah air. Pakdemu sebetulnya juga sudah berusaha tanya ke sana ke mari, kepada mereka yang punya keluarga yang kerja di Saudi, tapi sampai saat ini belum ada jawaban”, kata Bu Bisri dengan nada rindu.

Air matanya menetes satu-satu jatuh ke pangkuannya membasahi kain batik yang dikenakannya.

“Mungkin sudah nasib Kita”, katanya, sambil mendekap Nur.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *