Otoritarianisme Berbungkus Hukum

Otoritarianisme Berbungkus Hukum
Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Hajinews.id – Apa yang lebih berbahaya daripada penguasa yang berkuasa politik dengan peluru dan tank? Jawabnya: penguasa yang tengah menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengeruk keuntungan dengan menggunakan perangkat hukum. Situasi ini lebih berbahaya karena banyak di antara kita tak merasakan ketidakadilan ini karena semuanya dibungkus rapi sebagai produk hukum.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Hari-hari ini kita disuguhi berbagai isu hukum yang kontroversial. Seperti lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja dan penggantian Hakim Konstitusi Aswanto di tengah jalan karena putusannya dianggap melawan keinginan pembuat undang-undang. Dua peristiwa itu tampak dikeluarkan dalam bentuk hukum, bukan melalui kekerasan fisik atau todongan senjata. Namun, di sisi lainnya terlihat jelas pelanggaran terhadap moralitas konstitusi dan praktik demokrasi.

Dalam kasus Perppu Cipta Kerja, misalnya, sebuah fasilitas hukum yang dimaksudkan untuk mengatasi kegentingan memaksa dikeluarkan semata-mata untuk ”memberikan kepastian hukum bagi investor” (kutipan dari Konferensi Pers Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, 30 Desember 2022). Sementara ’kegentingan’ yang dijadikan alasan adalah krisis ekonomi, bukan ancaman di depan mata (immediate threat) seperti yang disyaratkan dalam penerapan hukum tata negara darurat, seperti peperangan atau bencana alam.

Bentuk perppu tentu nyaman bagi pemerintah yang tak ingin kebijakannya dibahas terlebih dahulu dengan wakil rakyat dan di mata publik. Karena itulah, perppu sesungguhnya hanya boleh dikeluarkan dalam situasi yang benar-benar genting.

Namun, Perppu Cipta Kerja ini hanya salah satu gejala dari pelaksanaan otoritarianisme berbungkus hukum. Literatur politik dan hukum tata negara mencatat, fenomena seperti ini sedang menjadi tren global karena mudah disembunyikan. Fenomena ini dinamakan ”autocratic legalism”, yaitu penggunaan hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis (Corales, 2015; Scheppele, 2018). Langkah awalnya adalah serangan yang terencana oleh penguasa terhadap institusi-institusi yang tugasnya mengawasi kekuasaan. Setelah semua batasan konstitusional dilonggarkan, penguasa akan dengan mudah menggunakan instrumen hukum sehingga tindakannya seakan-akan benar, padahal sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum, bahkan ke arah otoritarianisme (Scheppele, 2018).

Di Indonesia, empat institusi pengawas kekuasaan sudah dilemahkan terlebih dahulu. Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah dilemahkan dan dipolitisasi sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Kedua, kelompok ’oposisi’ di DPR yang sudah dilemahkan melalui perekrutan kabinet dan cara-cara legal lainnya. Ketiga, masyarakat sipil yang terus-menerus dilemahkan dengan cara-cara legal, serangan fisik, ataupun melalui teknologi, seperti peretasan dan doxing. Akhirnya, fenomena ini digenapkan dengan diserangnya independensi Mahkamah Konstitusi, dengan penggantian hakim di tengah jalan, yang akan pula dilegalkan dengan revisi UU Mahkamah Konstitusi yang akan segera dibahas.

Saat semua instrumen pengawasan lemah, kekuasaan tidak lagi bisa dikontrol. Maka, kebijakan yang hanya menguntungkan pemerintah atau pihak-pihak yang dekat dengan pemerintah akan lebih mudah dihasilkan, seperti Perppu Cipta Kerja, Undang-Undang Ibu Kota Negara, serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Yang tertindas adalah orang-orang yang tidak punya kekuasaan dan tidak pula mempunyai sumber daya yang bisa digunakan untuk memuluskan banyak hal.

Jangan lupa, atas nama hukum pula, mudah atau tidaknya hak-hak tertentu didapatkan juga ditentukan oleh keberadaan dokumen. Sementara dokumentasi hak juga sering kali harus ”dibeli”. Hak atas tanah adat, misalnya, yang dengan mudah digilas oleh perusahaan perkebunan, semata karena masyarakat adat tak memiliki sumber daya untuk mendokumentasikan haknya. Bahkan, sebagian pengusaha bisa ”membeli” sertifikat melalui mafia tanah.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar