Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-22): Perjuangan Belum Selesai

Perjuangan Belum Selesai
Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Karya: Muhammad Najib, Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

SERI-22

Hajinews.id – Suara azan terdengar dari HP yang diset alarmnya tepat saat waktu Subuh tiba. Imam mengambil HP-nya di meja kecil di samping tempat tidur. Ia menyalakan lampu kamar, sehingga ruangan yang tadinya remang-remang berubah menjadi terang. Ia merundukkan kepala dan badannya ke bawah tempat tidur. Tangannya menggapai sepasang sandal yang terletak di bagian ujung bawah tempat tidurnya. Sambil memasukkan sandal ke kedua kakinya, Ia berdiri membenahi gulungan sarung di atas perutnya, kemudian bergerak ke arah kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya. Imam lalu mengambil air wudhu tanpa mempedulikan dinginnya air pagi itu.

Setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk, Ia mengeluarkan sajadah tipis dari dalam tasnya. Ia mencari-cari petunjuk arah kiblat di plafon kamarnya. Ternyata tidak ada sedikitpun tanda-tanda yang dicarinya. Ia kemudian membuka-buka laci, sebagaimana hotel-hotel besar biasanya meletakkan tanda kiblat dalam bentuk anak panah. Ternyata juga tidak ada. Pikirannya kemudian bergerak mengingat-ingat arah matahari terbenam. Tapi kemudian Ia berpikir, kemana wajah kita hadapkan, di sana Allah berada. Ia menggelar sajadahnya menyerong sedikit ke arah Kanan dari perkiraan arah mata hari terbenam.

“Allahu Akbar”, terdengar suara Imam memulai shalat Subuh sambil mengangkat kedua tangannya. Ia memilih surah-surah khusus dalam Al-Quran yang tidak lazim dibaca oleh orang kebanyakan. Mahraz dan tajwidnya terdengar sangat fasih dengan irama yang sederhana tapi terdengar syahdu dan menawan. Ayat-ayat yang cukup panjang itu dibacanya perlahan. Tampak Ia shalat dengan konsentrasi penuh. Seusai salam, Imam tetap duduk di atas sajadahnya. Ia membaca doa-doa dengan pelan sambil menengadahkan tangannya. Seusai berdoa, Ia mengambil Al-Quran kecil yang selalu dibawa kemana saja ia pergi. Ia terus membacanya sampai langit di Timur mulai terang.

Imam mengganti sarung yang dikenakannya dengan celana yang longgar. Ia mulai melompat-lompat di tempat. Kemudian menggerak-gerakkan tangannya ke atas dan ke bawah, memutar ke Kiri dan ke Kanan. Lalu melakukan push-up sehingga otot-otot tangannya tampak menonjol. Setelah keringat membasahi sekujur tubuhnya, Ia mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokannya. Ia duduk santai sejenak kemudian mengganti bagian atas pakaiannya yang basah, lalu keluar dari Losmen untuk mencari koran. sebelum kembali ke kamarnya, Ia memesan nasi goreng untuk sarapan pagi.

“Jangan pakai daging, ya! Cukup dengan telur mata sapi saja”, katanya kepada petugas front desk. Ketika sedang membaca koran di kamarnya, terdengar seseorang mengetuk pintu diikuti dengan salam.

“Wa’alaikum salam”, jawab Imam sambil beranjak dari tempat duduknya bergerak ke arah pintu dengan tangan tetap memegang koran. Ia mengintip dengan waspada dari celah jendela yang dibukanya sedikit. Setelah tahu siapa yang datang, baru Ia membuka pintu kamarnya.

“Ahlan wa sahlan”, katanya sambil menjabat tangan Mujahid sembari menempelkan pipi Kiri dan Kanannya secara bergantian ke pipi Mujahid.

“Fadhal…!”, katanya mempersilahkan Mujahid untuk masuk ke kamarnya.

“Ana tidak menduga Antum datang sepagi ini”, katanya sambil menarik kursi ke arah Mujahid. “Kebetulan hari ini agak santai”, Mujahid berbasa basi.

“Sarapan bareng, ya! Kebetulan Ana baru pesan nasi goreng”, Imam menawarkan.

“Syukran…! Ana baru saja selesai sarapan di rumah. Maksud kedatangan Ana ke sini juga untuk menawarkan sarapan, karena kebanyakan hotel di sini juru masaknya non-Muslim, sehingga kehalalannya patut diragukan”, jelas Mujahid

“Tapi Ana cuma pesan nasi goreng dengan telur mata sapi tanpa daging”, komentar Imam meyakinkan.

“Tapi Antum perlu tetap waspada, kadang-kadang wajan yang sama digunakan untuk menggoreng apa saja”, jelas Mujahid lagi.

“Insya Allah, nasihat Antum akan Ana perhatikan”.

“Ngomong-ngomong kapan Antum kembali dari Afghan?”, tanya Mujahid.

“Setelah tentara kafir Komunis hengkang dan para Mujahidin memproklamirkan Negara Islam di sana, Ana tidak langsung pulang”.

“Lalu?”, kejar Mujahid dengan nada penasaran.

“Ana ke Pakistan beberapa saat untuk berkumpul dengan teman-teman Mujahidin asal negeri itu. Lalu kami sepakat untuk melanjutkan perjuangan di tempat lain. Ada yang ke Eropa, ada yang ke Amerika, Ana sendiri pergi ke Filipina selatan bersama kawan-kawan asal Moro, kemudian sempat juga tinggal di Thailand Selatan beberapa lama”.

“Apa pertimbangannya memilih daerah itu?”.

“Mereka adalah saudara-saudara terdekat Kita dari sisi agama dan saudara serumpun dari sisi etnis yang masih terjajah. Mereka dipisahkan dari Kita oleh para penjajah. Kita perlu membantu mereka untuk bersatu kembali dengan saudara-saudaranya di Malaysia dan Indonesia.

“Bagaimana dengan kawan-kawan yang pergi ke Amerika dan Eropa?”.

“Mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk menegakkan kalimatullah”, jawab Imam diplomatis mencoba untuk menghindar dari jawaban detail.

“Apakah Antum masih berkomunikasi dengan mereka?”, tanya Mujahid menyelidik.

“Tentu! Bahkan Kami selalu berdiskusi tentang berbagai perkembangan mutakhir yang Kita hadapi masing-masing, lalu saling memberikan saran”.

“Bagaimana cara Antum berkomunikasi?”.

“Melalui internet. Sekarang internet adalah sarana yang sangat efektif dan murah”, jawab Imam meyakinkan.

“Ana praktis putus hubungan dengan teman-teman seangkatan sejak kembali ke tanah air”, keluh Mujahid dengan nada menyesal.

Imam tidak merespon penyesalan Mujahid, bahkan dengan nada bersemangat sambil menggeser kursinya untuk mendekatkan tempat duduknya, melanjutkan pembicaraannya, “Sekarang Ana akan beritahu Antum. Motivasi Amerika membantu Kita mengusir Uni Soviet dari Afghanistan bukan semata-mata karena Uni Soviet itu Komunis seperti yang kita bayangkan. Ternyata Amerika juga punya motivasi ekonomi dengan mengincar minyak dan gas yang dimiliki negara-negara Asia Tengah tetangga Afghanistan. Afghanistan menjadi penting karena minyak dan gas yang ada di Asia Tengah hanya mungkin dibawa keluar dan memiliki nilai ekonomis melalui pipa yang melewati Afghanistan kemudian Pakistan. Tanpa dukungan Pemerintah Afghanistan, maka keuntungan besar di depan mata hanya akan menjadi mimpi belaka. Di samping itu, Amerika juga punya ambisi menguasai dunia. Setelah Komunis runtuh, kini negara-negara Islam atau negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang tidak mau membebek akan mereka sikat. Kalau Islam sudah kalah maka sasaran berikutnya adalah negaranegara seperti China, Jepang, Korea yang dikelompokkan sebagai negara-negara dengan kategori “Kuning”. Samuel Huntington sangat bagus sekali menggambarkan ambisi Amerika dan sekutu-sekutu Baratnya dalam buku: The Clash of CivilIsyations and Remaking of World Order. Ambisi ini menjadi konkret setelah kelompok Neo Konservatif berkuasa di Amerika.

“Apa itu Neo Konservatif? Ana tak paham maksudnya”, tanya Mujahid.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *