Rasulullah SAW Memulai Dakwah Dari Pendidikan Tinggi

Rasulullah SAW Memulai Dakwah Dari Pendidikan Tinggi
Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Hajinews.id – Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya Rasulullah saw memulai dakwahnya pada tingkat pendidikan tinggi. Yakni, pendidikan untuk orang-orang dewasa. Setelah menerima wahyu “qum fa-andzir!”, maka Rasulullah saw mulai mengajak orang-orang terdekatnya untuk memeluk ad-dinul Islam.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Maka, satu persatu orang-orang terdekatnya masuk Islam dan menjadi pejuang-pejuang yang tangguh dalam menegakkan kebenaran Islam. Setelah Khadijah, Abu Bakar, Ali, Hamzah, dan sebagainya, radhiyallaahu ‘anhum, memeluk Islam, maka terbentuklah barisan pejuang dakwah yang rapi, laksana bangunan yang kokoh.

Generasi awal yang dididik oleh Rasulullah saw ini menjadi pelopor penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Mereka adalah para guru yang hebat yang kemudian melahirkan generasi terbaik kedua, yaitu Generasi Tabi’in. Dari para guru Generasi Tabi’in ini lahirlah guru-guru hebat dari Gerenasi Terbaik ketiga, yaitu Generasi Tabi’ut Tabi’in.

Begitulah, sejatinya, proses dakwah Islam, adalah sebuah proses pendidikan, yang dimulai dengan Pendidikan Tinggi, yakni pendidikan yang melahirkan para guru pejuang, atau para pejuang dakwah (para dai), dari generasi ke generasi. Proses ini terus berlanjut dari waktu ke waktu, sehingga Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Islam akan menjadi lemah dan umatnya menjadi umat yang hina ketika pendidikan tinggi ini gagal melahirkan generasi pejuang yang tangguh. Dan penyakit yang sangat ganas dalam melemahkan umat Islam adalah penyakit “hubbud-dunya”.

Rasulullah saw menjelaskan, bahwa ketika umat terjangkit penyakit ini, maka mereka akan menjadi umat yang lemah dan tidak diperhitungkan keberadaannya. Musuh-musuh umat Islam dengan leluasa mempermainkan mereka, karena tidak ada rasa takut lagi pada umat Islam. Laksana makanan yang terhidang di meja dan dikelilingi orang-orang yang kelaparan.

Karena itulah, Rasulullah saw mengingatkan umat Islam akan bahaya gagalnya para guru dan orang tua untuk mendidik anak-anak dengan benar, sesuai dengan fitrahnya. Para guru yang gagal ini akhirnya mendidik anak-anak menjadi Yahudi, Nasrani atau Majuzi.

Kaum Yahudi dikenal dengan sifatnya yang sangat berlebihan dalam mencintai dunia (QS al-Baqarah: 96), dan hanya mau menerima ilmu yang berdasarkan pada proses inderawi (QS Al-Baqarah: 55). Kaum Nasrani adalah kaum yang tersesat (al-dhaallin).

Allah SWT sudah mengingatkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha pada Rasulullah saw dan umatnya sampai umat Islam mengikuti millah mereka. (QS al-Baqarah: 120).

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas berpesan kepada umat Islam: “Seperti juga dalam ilmu peperangan kau harus mengenali siapakah dia seterumu itu; di manakah letaknya kekuatan dan kelemahan tenaganya; apakah helah dan tipu muslihatnya bagi mengalahkanmu; bagaimanakah cara dia menyerang dan apakah yang akan diserangnya; dari jurusan manakah akan serangan itu didatangkan; siapakah yang membantunya, baik dengan secara disedari mahupun tiada disedari – dan sebagainya ini, maka begitulah kau akan lebih insaf lagi memahami nasib serta kedudukan Islam dan kau sendiri dewasa ini apabila penjelasan mengenai seterumu itu dapat dipaparkan terlebih dahulu.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001).

Karena itulah, umat Islam jangan memandang sepele menghadapi tantangan besar dalam dunia pendidikan tinggi. Jangan sampai justru mendidik para mahasiswa berpikir dan bersikap seperti Yahudi-Nasrani. Bahkan, setiap hari, berulang kali umat Islam melantunkan doa, agar diselamatkan dari jalan al-maghdhub dan al-dhaalliin.

Prof. Naquib al-Attas sejak lama mengingatkan bahwa problem utama umat Islam adalah “problem ilmu pengetahuan” (the problem of knowledge). Dalam berbagai karyanya, yang dimulai di awal 1970-an, Prof. Naquib al-Attas menjelaskan dasar-dasar perbedaan ontologis, epistemologis, etika dan budaya antara Islam dan Barat sekuler yang dominan. Al-Attas pun telah meluncurkan wacana serius tentang dewesternisasi dan dekolonisasi melalui proyek intelektual Islamisasi pengetahuan kontemporer, yang berpusat di universitas.

Menurut al-Attas, Islamisasi adalah: “usaha untuk membebaskan manusia pertama-tamanya dari tradisi magis, mitos, animistik, kultur nasional, lalu membebaskan dari jeratan sekular yang membelenggu akal dan bahasanya. Orang Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikontrol oleh magis, mitos, animisme dan tradisi nasionalisme dan kulturalnya. Inilah perbedaan antara Islam dan sekularisme.”

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *