Benarkah ada Neo Komunis dibalik Pelanggaran HAM?

Neo Komunis dibalik Pelanggaran HAM
Wakil ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Tiba-tiba, Presiden Jokowi berpidato di Istana Negara pada Rabu (1/11/2023) yang berisi pengakuan dan penyesalan Presiden atas beberapa pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Pengakuan ini disampaikan Presiden Jokowi sebagai tindak lanjut dari Laporan Kelompok Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia di Luar Hukum yang sudah diketahui masyarakat luas.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pada dasarnya, rekomendasi untuk mengakui kejahatan terhadap kemanusiaan sudah ada sejak tahun 1999, seperti yang disampaikan Komnas HAM kepada presiden yang saat itu berkuasa.

Menariknya, pidato Presiden Jokowi yang mengungkap adanya 12 jenis pelanggaran HAM berat sebelumnya, antara lain menyebutkan peristiwa 1965-1966 tanpa menyebut peristiwa apa yang terjadi pada masa itu, sehingga disebut ada pelanggaran HAM berat disana.

Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh PKI terhadap santri, kyai, tokoh masyarakat dan ulama, atau pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru terhadap anggota PKI pasca pemberontakan PKI yang gagal tahun 1965?

Tetapi orang langsung paham bahwa mungkin yang dimaksud dengan peristiwa pelanggaran HAM barat yang terjadi pada kurun waktu 1965-1966 itu adalah terjadinya pembunuhan besar besaran yang konon hingga jutaan orang yang menimpa kalangan PKI dan keluarganya.

Mungkin dari sinilah kemudian muncul dugaan bahwa pengakuan dan rasa sesal Presiden Jokowi juga dialamatkan kepada mereka yang telah menjadi korban peristiwa 1965-1966 dimana mereka perlu untuk di santuni dan di pulihkan hak haknya.

Munculnya pidato Presiden Jokowi yang berisi pengakuan dan penyesalan atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memasukkan peristiwa 1965-1966 telah menimbulkan tafsir yang bermacam macam dikalangan pengamat hingga rakyat jelata.

Salah satunya adalah adanya dugaan pidato pengakuan dan penyesalan itu merupakan rangkaian dari upaya perjuangan neo PKI untuk lebih eksis lagi dalam kancah politik di Indonesia.

Kalau memang demikian asumsinya maka pidato Presiden Jokowi tersebut telah memunculkan keingintahuan publik soal pergerakan neo PKI di Indonesia dimana sebagian orang menilai sudah tidak ada tapi masih banyak juga yang menilai tetap eksis keberadaannya.

Lalu gerakan itu dianggap masih ada maka apa sesungguhnya upaya upaya yang telah dilakukan oleh Neo PKI ini dalam rangka menguatkan eksistensinya di Indonesia?

Apakah komunis itu sudah biasa mendompleng kekuasaan untuk mencapai tujuan perjuangannya? Benarkah mereka itu berlindung dibalik isu kesamaan dibidang hukum dan Hak Azasi Manusia? Bagaimana sebagai anak anak bangsa menyikapinya?

Upaya Sistematis

Pasca tumbangnya pemerintah Orde Baru (Orba), memang sangat terasa sekali betapa kelompok yang diduga neo PKI telah berusaha untuk bangkit dengan mengupayakan serangkaian kegiatan untuk memperjuangkan kepentingannya.

Mereka sangat lantang menyuarakan tuntutan agar TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia dicabut keberadaannya.

Dengan dalih meluruskan sejarah mereka melakukan propaganda memutarbalikkan fakta. Pasca reformasi 1998, Gerakan Neo PKI dibantu oleh beberapa LSM Liberal dengan dalih Pengungkapan Kebenaran dan Penegakkan HAM melakukan propaganda pemutar-balikkan Fakta Sejarah PKI dengan memanipulasi data sejarah melalui berbagai media cetak maupun sosial media.

Mereka membuat berbagai jenis buku, propaganda melalui media massa cetak, televisi, internet, film, musik, diskusi-diskusi, politik, dan selebaran-selebaran, yang pada intinya menempatkan orang-orang PKI dan organisasi sayapnya seperti Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Pemuda Rakyat (PR), Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), Barisan Tani Indonesia (BTI), SOBSI, dan lain-lain, sebagai korbannya.

Cara-cara demikian tujuannya untuk mendapatkan simpati publik sekaligus mengubah paradigma kesesatan Komunisme menjadi kebenaran ideologinya. Fakta kekejaman PKI diubah menjadi kekejaman TNI dan ormas Islam yang menjadi musuh bebuyutannya.

Para anggota neo PKI dan organisasi sayapnya beramai-ramai membersihkan diri dengan pengakuan-pengakuan palsu seperti tertera pada buku ”Suara Perempuan Korban Tragedi 65” yang ditulis Ita F. Nadia dan diterbitkan Galang Press, sebuah penerbit di Yogyakarta.

Selain buku tersebut, fakta mengabarkan bahwa pasca reformasi 1998 memang marak penerbitan dan peredaran buku-buku yang berisi pembelaan terhadap PKI, antara lain : “Aku Bangga Jadi Anak PKI dan Anak PKI Masuk Parlemen” keduanya karya Ribka Tjiptaning Proletariyati, “Gerwani” karya Amurwani Dwi Lestariningsih, “Kabut G30S” karya Mohammad Achadi, “Palu Arit di Ladang Tebu” karya Hermawan Sulistyo, “Penghancuran Gerakan Perempuan” karya Saskia Eleonora Wieringa dan lain lainnya.

Selain buku, pasca reformasi 1998, juga marak pembuatan dan peredaran film yang berisi pembelaan terhadap PKI, antara lain : “Jagal dan Senyap” keduanya disutradarai Joshua Oppenheimer dan diapresiasi oleh Komnas HAM & LSM-LSM Liberal, “Sang Penari” disutradarai Ifa Isfansyah dan dibintangi Prisia Nasution & Oka Antara, “Gie” disutradarai Riri Riza dan dibintangi Nicolas Saputra & Sita Nursanti, “Jembatan Bacem” disutradarai Yayan Wiludiharto dan sebagainya.

Inti dari semua Buku dan Film tersebut di atas adalah sama yaitu menumbuhkan simpatik penonton terhadap PKI . Dalam semua buku dan film tersebut digambarkan penderitaan keluarga PKI yang menyedihkan dan memilukan, karena hidup dalam penindasan rezim penguasa.

PKI diposisikan sebagai korban yang terzalimi, sehingga tak satu pun episode kekejaman dan kebiadaban PKI yang diangkat dalam cerita. Pelan tapi pasti, semua buku dan film tersebut akan menggerus sikap ANTI PKI yang selama ini sudah terlembagakan dalam kepribadian Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Hasil dari semua itu  mulai terbentuk opini di tengah masyarakat bahwa sebenarnya PKI adalah pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, bahkan merupakan motor penggerak revolusi kemerdekaan Indonesia. Lalu PKI pun diposisikan sebagai pihak yang difitnah dan dizalimi oleh Orba untuk menarik simpatik masyarakat Indonesia.

Akhirnya PKI seolah olah dijadikan sebagai pahlawan, sementara lawan-lawan PKI seperti TNI dan NU serta MASYUMI sebagai penjahatnya yang telah melakukan kezaliman dan kebiadaban terhadap mereka.

Mereka juga bergerak di bidang Pendidikan dengan upayanya untuk menghapus kurikulum tentang sejarah pengkhianatan partai komunis di Indonesia.

Seperti diketahui, sejak Tahun 1966 s/d 1998, dalam Kurikulum Pendidikan Sejarah Kemerdekaan Indonesia selalu dicantumkan tentang Sejarah Pengkhianatan PKI, baik pemberontakan PKI tahun 1948 mau pun Pemberontakan G30S PKI Tahun 1965.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *