Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-27): Menjenguk Suami

Menjenguk Suami
Muhammad Najib, Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



“Benar Pak!”, jawabnya.

“Silakan Bu, ikut Saya!”, pinta petugas itu dengan ramah.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Nur lalu mengikuti sang petugas yang bergerak ke belakang kantor melalui lorong yang berbelok-belok. Setelah melalui pintu berjeruji besi, Ia dipersilakan duduk di sebuah ruangan tanpa jendela ataupun ventilasi udara. Tidak ada orang lain di situ. Beberapa saat kemudian, dua orang petugas berdiri dengan sigap di Kiri dan Kanan pintu masuk lengkap dengan senjatanya. Pintu lalu dirapatkan. Nur tiba-tiba jadi tegang. Ia berusaha menenangkan dirinya, sambil terus memperhatikan gerak-gerik para petugas melalui dinding kaca pintu. Beberapa saat kemudian pintu terbuka. Mujahid yang dikawal dua orang petugas masuk ke ruangan. Dengan tangan diborgol, ditinggalkannya mereka berdua di kamar itu.

Nur berdiri kaku menatap sang Suami yang telah lama meninggalkannya. Bibirnya terkatup rapat. Ia tak tahu kata-kata apa yang harus digunakan untuk memulai. Mujahid bergerak pelan mendekati sang Istri. Kelihatannya dia hendak memeluk, tapi terhalang tangannya yang diborgol.

Nur lalu bergerak cepat menubruknya. Dipeluknya badan Suaminya. Tangisnya meledak dan air matanya jatuh bercucuran.

“Kenapa Allah berikan cobaan seberat ini”, katanya dengan suara terisak dan kepala menempel di dada sang suami.

“Kita harus berbaik sangka pada Allah. Allah tidak mungkin memberikan beban kepada hamba yang tidak mampu memikulnya. Kita adalah orang-orang terpilih untuk memikul beban berat ini”, kata Mujahid dengan suara tenang menasihati sang Istri.

“Tapi anak-anak kita, Bang…”

“Allah akan menjaga mereka. Tugas Kita hanya berikhtiar”.

“Bagaimana keadaan Mas sendiri?”, Nur melonggarkan pelukannya sembari menatap wajah Suami tercinta.

“Seperti yang Kamu lihat sendiri”.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mas ditahan?”, tanya Nur ingin tahu.

“Sssttt…”, Mujahid mengingatkannya.

“Jangan bicara tentang itu dulu, tidak mustahil ruangan ini dipasangi alat penyadap”, Mujahid berbisik di dekat telinga Nur.

“Duduklah….!”.

Mereka saling bertatapan.

“Bagaimana keadaan anak-anak?”, tanya Mujahid.

“Semuanya baik-baik saja. Hanya saja Amil sering enggan pergi ke sekolah. Ira jarang bermain di luar rumah. Sedangkan Iin keriangannya hilang, Ia selalu bertanya; Abah pergi ke mana dan kapan pulang?”.

“Saya percaya dan yakin Kamu bisa mengatasinya”, ungkap Mujahid sambil mengelus kepala istrinya dengan kedua belah tangannya yang masih dirantai.

“Saya bawa nasi dan sayur asem kesukaan Mas”, kata Nur sambil meraih rantang yang dibawanya.

“Sudah lama Saya tidak makan sayur asem masakanmu”, ujar Mujahid sambil tersenyum.

“Bagaimana makanan di sini, Mas?”.

“Yah, sekadar untuk mengganjal perut, lumayanlah”, kata Mujahid sambil menikmati sayur asem dan tempe goreng yang dibawa istrinya.

Di tengah kerinduan itu, tiba-tiba pintu diketuk dari luar.

“Maaf… waktu sudah habis”, kata salah seorang petugas.

Mujahid menyudahi makannya dan mencium kening istrinya. Ia berbisik,

“Hati-hati kalau ngomong di telepon, bukan mustahil HPmu juga dIsadap”, katanya kemudian meninggalkan sang Istri yang tampak berat untuk melepasnya.

Nur memandangi terus langkah Suaminya yang dikawal dua orang petugas menyusuri lorong sampai berbelok dan tak tampak lagi.

(Bersambung…..)

banner 800x800