Juni tahun lalu banyak orang terkaget-kaget mendengar bahwa di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, waktu tunggu pemberangkatan jemaah haji itu 97 tahun. Artinya, di Indonesia (meskipun belum di semua daerah) sudah muncul angka psikologis bahwa lamanya daftar tunggu haji di Indonesia hampir mencapai 100 tahun.
Minggu ini publik dibuat kaget mendengar ongkos naik haji yang riil (kini disebut biaya penyelenggaraan ibadah haji/BPIH) tahun ini di Indonesia hampir Rp 100 juta. Tepatnya Rp 98.893.909. Dari angka itu, menteri agama mengusulkan biaya haji 2023 yang ditanggung jemaah Rp 69.193.733 juta per orang (pada 2022 ongkosnya Rp 39.886.009). Artinya, angka nominal itu merupakan 70 persen dari BPIH. Artinya lagi: biaya perjalanan ibadah haji (bipih) 2023 yang harus ditanggung jemaah naik Rp 29 juta dari tahun sebelumnya. Jika usulan itu disetujui DPR, para calon jemaah harus melunasi Rp 44 juta karena sebelumnya sudah membayar setoran awal Rp 25 juta.
Nah, terkait hal-hal tersebut, ada beberapa catatan penting yang perlu kita cermati bersama. Pertama, masalah haji memang rumit. Tapi, sosialisasi dan komunikasi dalam kebijakan haji pemerintah masih terlihat lemah. Barangkali kita semua mafhum, sejak awal pandemi hingga kini banyak sekali harga barang dan jasa yang tidak menentu. Apalagi, penyelesaian krisis pangan dan energi dunia yang akibat krisis Rusia-Ukraina belum menunjukkan titik terang. Penyelenggaraan haji pun terkena dampaknya. Biaya transportasi, harga akomodasi, dan lainnya yang harus ditanggung jemaah yang datang ke Kota Suci Makkah dan Madinah pun ikut merangkak naik.
Persoalannya, bagaimana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI, bersikap? Banyak pihak mengeluhkan biasanya yang sering mengeluarkan kebijakan dan regulasi baru yang mendadak terkait haji itu Arab Saudi. Kali ini justru pemerintah Indonesia.
Seandainya, dari tahun ke tahun, BPIH diprediksi cenderung naik, mengapa sosialisasi terkait ini tidak serius dilakukan? Dari data terlihat, biaya haji cenderung naik dan perlu penyesuaian (bahkan sempat diakui oleh wakil presiden RI tahun lalu). Sejak 2017 hingga 2019 (haji terakhir sebelum pandemi), bipih yang dibebankan kepada jemaah sekitar Rp 35 juta. Padahal, sejak 2015, BPIH sudah mencuat di angka Rp 61 juta. Pada 2019 angkanya telah Rp 69 juta.
Kedua, pemerintah mungkin perlu mengambil kebijakan sepenting dan segenting melonjaknya biaya haji itu secara lebih arif dan bijaksana. Ketimbang mengusulkan kenaikan fantastis yang sifatnya mendadak, mungkin pemerintah dapat menyosialisasikan kebijakan itu secara gradual dan bertahap untuk beberapa tahun ke depan. Kita bisa berkaca pada pengalaman bangsa lain.
Di India misalnya. Negara tersebut pernah mengalami masalah cukup pelik dengan subsidi haji. Negara sekuler dengan mayoritas penduduk beragama Hindu itu memiliki kementerian urusan kelompok minoritas. Sejak 1932, atas dasar pertimbangan saran dan masukan berbagai kelompok yang bersengketa, pemerintah kolonial Inggris di India memberlakukan subsidi haji. Khususnya untuk membantu transportasi jemaah haji.