Biaya Haji Naik, Subsidi Turun?

Biaya Haji Naik
DADI DARMADI, Pengamat haji dan umrah, peneliti senior PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Pascakolonialisme berakhir di India, sejak 1959 kebijakan subsidi haji ini tetap dijalankan. Kebijakan subsidi juga diperluas dan diberikan untuk tujuan ziarah keagamaan bagi kelompok agama lainnya. Belakangan, khususnya sejak 2012, di tengah gejolak ekonomi dan perbedaan sikap politik yang tajam, kebijakan subsidi haji mendapatkan banyak kritik dan menjadi polemik. Subsidi haji dan ziarah keagamaan lainnya diminta dihentikan.

Yang menarik, dan perlu kita jadikan sebagai cerminan di sini, bagaimana pemerintah India menyikapi hal ini: mereka setuju penghentian subsidi haji dari pemerintah dalam kurun waktu selambat-lambatnya 10 tahun. Tapi, kemunculan PM Narendra Modi mempercepat proses ini. Pada Januari 2018 subsidi haji resmi dihentikan. Sejak itu seluruh biaya dibebankan kepada calon jemaah haji. Bahkan, para politikus muslim pun banyak mendukung gerakan ini seraya berargumen memang ibadah haji itu sifatnya wajib hanya bagi mereka yang mampu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Yang bisa kita petik dari kasus pengelolaan biaya haji di India ini adalah: tidak masalah gejolak harga dan biaya haji naik. Tapi, kebijakan dan regulasi diberlakukan secara gradual, bertahap, dan mempertimbangkan banyak faktor di luar angka-angka semata yang berkembang di masyarakat: sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.

Ketiga, BPIH sebesar Rp 98,8 juta mungkin sudah dihitung dengan cermat dan terlihat rasional. Tapi, penetapan atau usulan menaikkan biaya haji yang harus dilunasi hampir dua kali lipat hanya tiga bulan menjelang keberangkatan itu jelas akan memberatkan para calon jemaah haji. Alih-alih menaikkan subsidi haji (diambil dari nilai manfaat dana haji) karena biaya haji riil semakin melonjak, di tahun 2023 ini sebenarnya pemerintah malah mengusulkan penurunan subsidi tersebut. Pemerintah mengurangi subsidi biaya haji karena alasan yang sebenarnya masuk akal: tergerusnya dana haji akibat pemasukan dan pengeluaran yang tidak lagi seimbang.

Tapi, bagaimana dengan jemaah yang mendapat giliran, tapi mungkin tidak mampu membayar dan melunasi? Pembatalan? Berisiko sekali, apalagi dengan jumlah jemaah haji terbesar di dunia. Jangan lupa juga, siapa mayoritas calon jemaah haji kita? Mereka kebanyakan adalah kaum petani, pedagang, dan orang-orang yang sudah berusia lanjut.

Untuk itu, mendesak kiranya bagi Kemenag RI, DPR, dan seluruh stakeholder haji Indonesia duduk bersama membahas hal penting ini. (*)