Pelayanan Jemaah Haji Indonesia, Quo Vadis?

Pelayanan Jemaah Haji Indonesia
Muslimin B. Putra, Kepala Pencegahan Ombudsman RI Provinsi Sulsel/Wakil Sekretaris MW KAHMI Sulsel
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Berkaca pada sejarah penyelenggaraan haji dan regulasi urusan haji, terdapat dinamika antara penyelenggaraan haji diurus oleh masyarakat (swasta) dan diurus oleh pemerintah. Kehadiran negara dalam urusan haji sangat dibutuhkan bagi Umat Islam Indonesia agar pelaksanaan rukun Islam kelima ini dapat dinikmati oleh seluruh umat, sekalipun ibadah haji dikecualikan bagi orang mampu secara finansial.

Pemihakan Pemerintah

Penyelenggaraan ibadah haji sebagai urusan publik (public affairs) yang dimandatkan pada pemerintah melalui UU menunjukkan pemberian kewenangan untuk melakukan tindakan affirmative action pada situasi tertentu, termasuk pada penentuan biaya perjalanan ibadah haji. Adanya dua klasifikasi haji yakni haji reguler dan haji khusus adalah cermin bagi pemerintah kearah mana tindakan afirmative action tersebut dibutuhkan sebagai bentuk pemihakan pemerintah pada Umat Islam Indonesia. Apalagi sebagian besar masyarakat muslim Indonesia masih berada pada kelas menengah dan bawah yang rata-rata mengakses layanan haji untuk klasifikasi haji reguler yang secara biaya relatif terjangkau dibanding layanan haji khusus untuk kelas menengah dan atas.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tindakan afirmative action bagi umat Islam Indonesia khususnya calon jemaah haji reguler dapat dituangkan dalam bentuk pemberian nilai manfaat pengelolaan dana haji yang maksimal. Jika pada tahun 2022, nilai manfaat dana haji diberikan pada jemaah haji reguler mencapai 59 persen, maka pada masa sekarang dan mendatang perlu dipertahankan. Tidak bisa diperhadapkan pada mekanisme pasar terkait layanan akomodasi, transportasi dan konsumsi untuk segmen haji regular karena kelompok haji ini adalah tanggung jawab pemerintah yang diamanahkan oleh undang-undang.
Karena itu, argumen pemerintah yang ingin menaikkan biaya perjalanan haji yang ditanggung oleh jemaah haji tidak terlalu bijak jika pertimbangannya untuk penyesuaian komponen layanan haji yang semakin naik. Argumen ini menunjukkan adanya niat melakukan liberalisasi penyelenggaraan haji karena selalu bertolak pada harga pasar, bukan motivasi pemihakan pada umat Islam berupa upaya meringankan biaya perjalanan ibadah haji melalui penggunaan sumber dana lain yang sah untuk digunakan sebagai komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (KBIH) sebagaimana tertuang dalam Pasal 44 UU No. 8/2019.

Bila niat pemerintah untuk memaksimalkan layanan pada jemaah haji reguler semestinya proporsi nilai manfaat tidak dikurangi menjadi hanya 30 persen dari sebelumnya pada tahun 2022 mencapai 59 persen. Karena itu, tugas BPKH untuk memaksimalkan keuntungan investasi dari dana haji yang berasal dari dana umat Islam Indonesia yang dikelola untuk memberi nilai manfaat yang maksimal bagi jemaah haji regular yang sebagian besar menengah kebawah. Posisi keuangan BPKH per 2022 total dana umat yang dikelola adalah Rp 167 trilun. Apalagi ada peningkatan asset sekitar Rp 20 triliun akibat ketiadaan pemberangkatan haji pada tahun 2020 dan 2021. Jika ingin melakukan perubahan proporsi nilai manfaat dana haji, paling tidak sebesar 50 persen nilai manfaat pengelolaan dana haji agar umat Islam tetap merasakan kehadiran BPKH yang diberi mandat mengelola dana umat melalui calon jemaah haji yang dalam status masa tunggu. ()

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *