Sebut Aturan Sawit Tiru Batu Bara, Faisal Basri: Luar Biasa Dahsyatnya Kerusakan, Tumpang Tindih Gak Karu-karuan

Faisal Basri Sarankan Tak Buru-buru Bangun IKN: Lebih Baik Fokus pada Instabilitas Sosial (foto istimewa)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Jakarta – Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri kembali menyinggung soal kebijakan pemerintah dalam menetapkan pemenuhan kebutuhan domestik atau dosmetic market obligation (DMO) sawit dan domestic price obligation (DPO). Aturan itu ditetapkan sejak tahun lalu setelah Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng di seluruh wilayah.

Faisal mengungkit pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar yang menyebut kebijakan itu meniru aturan dalam industri batu bara.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Nah dikatakan oleh Luhut meniru Batubara. Luar biasa dahsyatnya kerusakan yang terjadi. Tumpang tindih (aturan) enggak karu-karuan. Asal niru,” tuturnya dalam webinar yang diselenggarakan Satya Bumi dan Sawit Watch pada Sabtu, 4 Februari 2023.

Menurut Faisal, kondisi industri sawit dan batu bara jauh berbeda. Pasalnya, petani sawit dikenakan pajak ekspor dan bea keluar sementara batu bara tidak. Sehingga adanya aturan DPO dan DMO yang dinilai semakin membebani petani. Terlebih, 40 minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dihasilkan oleh petani kecil atau perkebunan rakyat.

Meski pajak itu dibayar oleh Pedagang CPO, Faisal menegaskan pajak ekspor dan bea keluar CPO dibebankan kepada petani. Pedagang, tuturnya, menekan harga di tingkat petani agar laba mereka tidak turun. Sementara dalam industri batu bara tidak ada petani.

Terlebih, ia mencatat ada 22 perusahaan sawit besar yang menguasai sekitar 75 persen sawit dana dari pajak ekspor tersebut. Adapun pajak ekspor dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dana yang terkumpul disalurkan kembali ke pelaku usaha sawit oleh BPDPKS, namun hanya ada sekitar 24 persen yang mengalir ke petani rakyat atau petani swadaya untuk peremajaan tanaman.

“75 persennya lari ke oligarki-oligarki ini. Jadi sudah zalim pemerintah ini,” kata dia.

Hal yang tak kalah penting, tutur Faisal, aturan DMO tidak relevan karena kelangkaan minyak goreng bukan disebabkan oleh tirisnya stok CPO. Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), serapan CPO di dalam negeri meningkat tajam dari 18,4 juta ton pada 2021 menjadi 21 juta ton pada 2022.

“Jadi kelangkaan CPO di dalam negeri sangat tidak betul. Oleh karena itu, penerapan DMO itu ngawur juga,” kata dia.

Aturan DPO juga dinilai tidak tepat, terlebih jika merujuk pada kebijakan yang diterapkan di industri batu bara. Faisal menyebutkan harga batu bara di pasar internasional sebesar US$ 400, tetapi untuk PLN dibanderol US$ 70 dan untuk pabrik semen US$ 90 dolar. Sementara harga CPO terbagi dua, yakni untuk industri biodiesel dan pangan. Harga jual CPO untuk industri biodiesel lebih tinggi ketimbang untuk pangan, termasuk minya goreng.

Menurut Faisal, aturan harga itu juga yang menyebabkan sengkarut minyak goreng di Tanah Air pada 2022 dan terjadi lagi saat ini. “Enggak jelas hitung-hitungannya. Kami tidak tahu siapa konduktornya. Semrawut ini, semrawut sekali,” tutur Faisal.

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *