Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-36): Menjenguk Suami

Menjenguk Suami
Muhammad Najib, Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Karya: Muhammad Najib, Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

SERI-36

Hajinews.id – Tembok tebal dan tinggi mengitari rangkaian bangunan di dalamnya. Tembok itu tampak kokoh dan menyeramkan. Bagian atasnya dipasang kawat berduri melingkar, kemudian ditutupi kabel yang dialiri arus listrik. Di bagian ujung Kiri dan Kanan tembok yang panjangnya sekitar lima puluh meter itu terdapat menara pengawas. Seorang petugas kelihatan duduk di tempat itu, mengawasi keadaan dengan santai sambil menghisap sebatang rokok. Di bagian tengah dinding itu terdapat pintu besar yang terkunci rapat. Di sebelah pintu besar itu ada pintu kecil yang terbuka. Beberapa meter ke dalam dari pintu kecil itu ada ruang penjaga.

Bagi Nur Jannah keadaan penjara seperti ini baru pertama kali Ia rasakan. Karena saat menjenguk Suami sebelumnya ketika sang Suami masih ditahan di kantor Polisi, sebelum diproses di Pengadilan. Setelah adanya putusan Pengadilan, Mujahid dipindah ke Penjara atau sering disebut dengan Lapas. Nur maju dengan ragu. Jantungnya berdetak keras. Ada perasaan gentar dalam hatinya, tapi tidak punya pilihan lain. Dengan membulatkan seluruh keberaniannya, Ia maju melangkah.

“Selamat pagi, Pak!”, sapa Nur sambil menundukkan kepala yang didekatkan ke jendela kecil berjeruji agar suaranya dapat didengar petugas jaga yang ada di dalamnya. Petugas yang berbadan gemuk, berkulit hitam, dan bercambang semrawut itu tidak menjawab. Hanya mendengus. Menoleh dengan malas, kemudian malah balik bertanya,

“Anda siapa?”.

“Saya Nur. Nur Jannah, istri Mujahid.”

“Ooo, rupanya istri teroris itu”, dengan nada mengejek.

Nur tersentak mendengar penghinaan itu. Darahnya mengalir deras, Jantungnya berdegup kencang, wajahnya berubah merah seketika. Perasaan marah dan sedih berbaur menjadi satu. Luka hatinya yang belum kering terasa terkoyak kembali. Tiba-tiba matanya berkacakaca. Rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya untuk melampiaskan duka dan luka yang dideritanya.

“Ya Allah, mengapa semua memusuhiku”, keluh Nur dalam hati.

“Kamu harus bersabar, Kamu harus tetap tegar! Tidak ada orang lain yang akan menolongmu kecuali dirimu sendiri”, kata-kata sang mertua tiba-tiba terngiang di telinganya. Nur berusaha mengendalikan emosinya, menenangkan hatinya, dan berusaha tampak tidak berubah di hadapan Si Gendut.

“Apakah saya boleh bertemu Suami Saya, Pak?”, tanya Nur dengan nada datar dan sopan.

“Ini bukan waktu kunjung! Kalau mau jenguk, lihat itu, pengumuman di dinding, waktunya dari jam tiga sampai jam lima sore!”, demikian tanggapan ketus penjaga penjara sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara dan mata tetap kearah televisi kecil yang sedang menayangkan musik dangdut dengan penyanyi yang bergoyang lincah.

“Maafkan Saya, Pak. Saya tidak tahu”, Nur memohon sambil merapikan kerudungnya. Tanpa basa-basi lagi Ia langsung memutar badan, dan pulang.

“Sebentar Bu, apakah Ibu mau Saya bantu?”, tanya Si Gendut dengan wajah ramah yang dibuat-buat. Ia tidak lagi memanggil Nur dengan sebutan anda, tapi menggantinya dengan panggilan Ibu.

“Maaf, Pak, Saya tidak mengerti. Maksudnya mau membantu itu apa, ya?”, Nur bertanya penasaran. Nur benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh penjaga penjara itu. Maklum, mengunjungi penjara adalah pengalaman pertamanya dan tidak pernah terlintas di kepalanya bahwa ia akan melakukannya.

“Begini, Bu. Kalau Ibu pulang lagi, kan ongkos angkot yang sudah keluar hilang percuma”.

“Lalu?”.

“Ibu ingin bertemu Suami, kan?”.

Penjaga itu berhenti sebentar sambil menatap wajah Nur dari lubang jendela,

“Dan kalau datang sore hari, Ibu harus antri. Mungkin Ibu tidak bisa bertemu lama. Karena, semua pengunjung harus kebagian”.

Tiba-tiba Nur teringat dengan amplop yang diselipkan mertua laki-lakinya dan bisikannya saat akan meninggalkan rumah. Kemudian Ia membuka tas kecil yang dikancingnya, lalu merogohkan tangan ke dalam untuk mencari amplop itu. Dikeluarkannya amplop itu dengan tangan Kanannya, sementara Si Gendut memperhatikan tingkah-laku Nur dari sudut matanya.

“Apakah Bapak mau menolong untuk bertemu Suami Saya sekarang?”, tanya Nur menegaskan. Saya akan berusaha, tapi ada syaratnya”, jawab Si Gendut dengan air muka tanpa malu.

“Apa syaratnya, Pak?”, tanya Nur sambil menyodorkan tangannya yang menggenggam amplop yang dilipat dengan ragu.

Si Gendut melirik tangan Nur, wajahnya nampak lebih ramah lagi dibanding sebelumnya. Senyumnya yang tidak manis tersungging. Sebagian gigi depannya yang ompong tampak jelas, dan dengan suara pelan ia menjawab, “syaratnya, Ibu tidak boleh memberitahu orang lain kalau Ibu bisa menjenguk di luar jam normal. Karena fasilitas ini hanya untuk tamu-tamu khusus atau untuk orang-orang yang perlu memberikan bantuan darurat bila ada tahanan yang mengalami sakit atau perlu bantuan mendadak”, sementara tangannya meraih amplop dari tangan Nur dengan gesit.

Entah sudah berapa kali Si Gendut mengucapkan katakata itu kepada semua orang yang ingin mendapatkan pertolongannya. Nur memperhatikan tingkah Si Gendut dengan perasaan tegang dan cemas. Ia takut apa yang dilakukannya akan membuat Si Gendut marah. Si Gendut membuka amplop itu tanpa ragu, dan segera tersenyum lebar hingga giginya yang ompong tampak jelas. Setelah melihat selembar uang Rp 200.000, Ia berdiri mengambil anak kunci dari lemari di sebelahnya, lantas melangkah keluar ruangan melalui pintu yang ada di belakangnya.

“Mari, Bu!”, tangannya memberikan isyarat kepada Nur. Si Gendut membuka pintu masuk utama yang berada di sebelah loket tempat ia jaga. Nur bergegas mengikutinya. Setelah Nur masuk, pintu dikunci kembali, Ia membimbing Nur menuju suatu ruangan, lalu mempersilahkan Nur untuk duduk. “Tunggu sebentar, ya!”, kata Si Gendut sambil meninggalkan Nur sendirian di ruang itu.

Nur berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Dia pasti lebih menderita dibanding Aku. Dia berada dalam sel berukuran sempit, sementara Aku masih bisa menghirup udara bebas. Ia tidak bisa bertemu orang-orang yang disayanginya, sementara Aku bisa bertemu siapa saja dan kapan saja. Karena itu Aku tak boleh menambah bebannya”, tekad Nur di dalam hati. Ia menyiapkan diri untuk menyambut kedatangan sang Suami.

“Assalamu’alaikum!”, suara Mujahid saat memasuki ruangan. Nur bangun dari tempat duduknya, menyergapnya dan menciumi punggung tangan yang masih dirantai itu. Diperhatikannya rambutnya tidak rapi dengan jenggot yang mulai memanjang.

“Bagaimana keadaan Anak-Anak?”, tanya Mujahid memecahkan ketertegunan Nur yang sudah sekian bulan tidak bertemu sang Suami.

“Alhamdulillah, semua baik-baik saja”, jawab Nur gugup

“Bagaimana Iin?”, tanya Mujahid tentang Anak bungsu yang paling lengket dengan dirinya.

Nur tidak menjawab. Ia hanya menundukkan wajahnya yang muram. Mujahid mengulurkan tangannya, berusaha merangkul sang istri. Nur menempelkan kepalanya di dada sang suami. Ia merasakan kehangatan dari orang yang sangat dirindukannya.

“Ia selalu memanggil-manggil Abahnya”, jawab Nur dengan suara terisak. Air matanya mulai berjatuhan membasahi dada suaminya.

“Apakah Saya boleh membawanya ke sini?”, tanya Nur terbata-bata.

“Jangan buru-buru, Kita harus hati-hati. Saya khawatir mentalnya belum siap melihat keadaan seperti ini“.

Isak tangis Nur terdengar semakin keras. Tangannya yang melingkar di pinggang sang suami melilit semakin erat.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *