Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-40): Godaan

Godaan
Muhammad Najib Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Karya: Muhammad Najib

Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

SERI-40

“Cling ….!”, HP Nur berkedip tanda ada pesan masuk. Nur mengambilnya dan mengeceknya, ternyata ada pesan WA yang baru masuk.

“Apakah saya boleh telpon ?”, bunyi pesan itu.

“Pakai WA saja karena Saya sedang memasak”, jawab Nur berusaha menghindar setelah melihat status pengirimnya.

“Saya mau pesan kue Bu, agar bisa menjelaskan lebih mantap”, responnya mendesak.

Nur berfikir sejenak, mempertimbangkan antara menerima atau menolaknya, “silahkan Pak”, responnya kemudian.

“Apa betul dengan Ibu Mujahid?”, suara laki-laki terdengar melalui WA call.

“Betul, Pak. Saya bicara dengan siapa, ya?”, tanya Nur dengan santun.

“Saya Rudy Setiadi. Orang memanggil saya Pak Rudy. Saya mau pesan kue kering bikinan Ibu”.

“Berapa banyak?”.

“Sementara 2 kilo dulu, untuk percobaan. Kalau cocok, nanti saya pesan secara rutin”.

“Apakah Pak Rudy mau ambil sendiri atau diantar?”, tanya Nur.

“Saya mohon diantar ke jalan Salak, No. 5, Monangmaning”.

“Apa di perumahan yang dekat Seme Pemecutan itu, Pak?”, tanya Nur untuk meyakinkan alamat yang diberikan.

“Betul, Bu.”

“Insyaallah, besok sore akan diantar pembantu Saya”.

“Begini, Bu. Kalau bisa, Ibu sendiri yang mengantarnya”, pinta Pak Rudy.

“Tapi Saya sibuk melayani pesanan, Pak”, jawab Nur yang berusaha menghindar dengan santun.

“Saya berencana mengirim kue Ibu ke Jawa untuk dijual lagi. Karena itu kalau cocok saya bisa ambil banyak dan rutin”, desak Pak Rudy.

Nur diam sejenak. Keuntungan besar terbayang di kepalanya. Karena itu, Ia tidak ingin melepaskan peluang ini.

“Baiklah Pak. Besok Saya sendiri yang akan mengantarnya”, jawabnya.

Keesokan harinya dengan mengendarai sepeda motor, Nur datang ke alamat yang diberikan dengan menenteng dua bungkus kue kering. Ia menekan tombol bel yang ada di depan pagar rumah itu. Seorang pembantu membuka pintu bagian dalam rumah itu.

“Apa betul ini rumah Pak Rudy?”, tanya Nur kepada sang pembantu.

“Betul, Bu. Silahkan masuk!”, jawab perempuan tua itu sambil mempersilahkan.

Nur memperbaiki kerudung yang dikenakannya, melepas sandal, kemudian duduk di kursi tamu. Sementara pembantu itu kembali ke belakang.

“Kelihatannya cukup bonafit pemilik rumah ini”, pikir Nur dalam hati saat memperhatikan berbagai perabot yang terpajang. Sofa di ruang tamu cukup bagus. Sebuah lukisan besar bergambar burung-burung yang sedang bermain di taman tergantung di dinding. Sebuah sedan Accord warna silver diparkir di garasi depannya.

“Ibu Mujahid, ya?”, sapa laki-laki setengah baya yang keluar dari dalam dengan menggunakan piyama.

“Saya, Pak”, jawab Nur

“Kenalkan, saya Rudy”, sambil menyodorkan tangannya.

“Saya Nur Jannah, Pak”, jawab Nur sambil merapatkan kedua tangan ke dadanya sebagai cara sopan untuk menolak berjabatan tangan.

Bagi kebanyakan komunitas santri berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim diharamkan. Pak Rudy menarik kembali tangannya yang tidak disentuh Nur. Ia kemudian duduk di kursi tepat di depan Nur.

“Ternyata benar, masih muda dan cantik”, komentarnya menyanjung. Nur tidak mengerti siapa yang dipujinya.

“Ah, jangan-jangan Saya salah dengar”, pikir Nur dalam hati.

“Saya mengantar kue yang Bapak pesan”, kata Nur menutupi salah tingkahnya sambil meletakkan dua bungkusan yang dibawanya di meja.

“Oh, ya. Berapa Bu?”.

“Empat ratus ribu”.

Pak Rudy ke belakang sebentar, kemudian muncul lagi dengan menyodorkan uang seratus ribuan enam lembar. Nur menerima kemudian menghitungnya.

“Maaf, Pak. Ini lebih”, sambil menyodorkannya kembali dua lembar.

“Bawalah, Bu!”, pintanya.

“Hitung-hitung untuk perkenalan”, imbuhnya.

“Tapi ini terlalu banyak!”, kata Nur.

“Sudahlah. Ambil saja!”.

“Kalau begitu, terimakasih Pak”, jawab Nur dengan nada gembira sambil buru-buru pamitan.

Saat pulang, pikiran Nur terus terbayang gerak-gerik laki-laki yang baru dijumpainya itu. Cara memandangnya tidak lazim. Ia suka mencuri pandang pada bagian-bagian tubuhnya yang sensitif.

“Ah, jangan-jangan Aku GR saja”, pikir Nur berusaha segera melupakan semua peristiwa yang baru saja dialami.

Minggu berikutnya Pak Rudy menelpon kembali dan meminta diantarkan tiga kilo kue kering sambil mengingatkan agar Nur sendiri yang mengantarkannya.

“Duduk dulu lah, Bu. Sedang dibuatkan minum”, pinta Pak Rudy saat menerima kue yang disodorkan. Nur kemudian duduk dengan terpaksa.

“Sampai kapan Ibu bisa bertahan sendirian?”, komentar Pak Rudy seolah tidak membutuhkan jawaban. Nur tidak paham ke mana arah pertanyaan yang didengarnya. Karena itu Ia menegaskan,

“Maksud Bapak?”.

“Saya dengar Suami Ibu sedang ada masalah, sehingga dalam waktu lama tidak akan pulang”.

“Hmm, itu betul, Pak.”

“Saya mengalami hal yang serupa”, komentar Pak Rudy menimpali.

“Jadi Istri Bapak juga dipenjara?”, tanya Nur bersemangat.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *