Hajinews.id – Panglima TNI 2015-2017 Jenderal TNI (purn.) Gatot Nurmantyo menilai kondisi umat Islam di Indonesia saat ini sama seperti tahun 1964-1965 yang masih dijadikan sasaran adu domba. Mereka yang melakukan hoaks tetapi umat muslim yang disalahkan.
“Umat Islam saat ini diperlakukan seperti tahun 1964-1965. Modusnya sama, dibunuh lalu dimasukkan ke dalam sumur untuk menghilangkan jejak,” kata Gatot Nurmantyo dalam diskusi publik bertema “Mengkaji Pernyataan Presiden tentang Pengakuan Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu dan Dampaknya bagi Kehidupan Sosial, Berbangsa, dan Bernegara”, di kantor Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (24/02/2023).
Gatot menegaskan bahwa sejak dulu PKI punya tabiat yang sama dalam melakukan fitnah.
“PKI paling pandai menghapus jejak. Lalu membersihkan dirinya. Terakhir menimpakan kesalahan pada orang lain. Dan minta ganti rugi. Hari ini semua terjadi. Ini semua sudah diingatkan oleh KH Hasyim Muzadi,” paparnya.
Gatot menegaskan bahwa masalah pelanggaran HAM mendapat perhatian serius dari dunia intenasional.
Indonesia kata Gatot sebagai negara anggota PBB yang mengakui perlindungan terhadap HAM tidak lepas dari sorotan dunia terhadap masalah pelanggaran HAM.
Oleh karena itu keseriusan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM Berat sudah diatur dalam UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan juga UU No. 26 tahun 2000 tentang Pelanggaran HAM
Masalah HAM telah menjadi suatu perhatian utama dan terjadi kepentingan global. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengakuan terhadap nilai-nilai HAM dalam sejumlah konvensi.
Tak hanya itu, sejak 11 tahun yang lalu anak keturunan PKI boleh berpolitik. Hari ini semua lini pemerintahan ada anak PKI. Yang di luar negeri boleh pulang ke Indonesia. Tidak ada yang protes. Artinya telah terjadi rekonsiliasi secara alamiah.
“Sekarang yang terjadi ada pengakuan pelanggaran HAM berat oleh kepala negara. Saya sangat menyesali keputusan itu,” paparnya.
Gatot menegaskan bahwa Presiden melakukan hal itu sebagai kepala negara bukan kepala pemerintahan. Oleh karena itu Presiden tidak boleh melakukan sendiri tanpa persetujuan DPR.
“Pengakuan presiden tersebut berarti pelakunya negara. Siapa alat negara? Tentu saja maksudnya ABRI (TNI Polri),” paparnya.
Padahal, lanjut Gatot sebuah permaafan harus ada pelaku yang mengaku dan korban yang mengakui, lalu negara sebagai penengah. Akan tetapi hal ini tidak dilakukan. Maka ini yang akan berbahaya.
Gatot juga menunjukkan bahwa rekonsiliasi sudah terjadi sejak dulu dengan adanya Soekarno sudah mengucapkan terima kasih kepada Soeharto karena telah mengamankan keluarga Bung Karno, pada saat Proklamasi Kemerdekaan ke 21.