Hidden Agenda di Balik Putusan Penundaan Pemilu 2024

Putusan Penundaan Pemilu 2024
Eko Suprihatno, editor Media Indonesia
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Eko Suprihatno, editor Media Indonesia

Hajinews.id – Bukan Indonesia kalau enggak membuat kejutan-kejutan yang menyita perhatian publik. Kali ini, kita dihebohkan dengan kejutan yang kadang memilukan hati, seperti perilaku biadab anak pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang menganiaya seorang bocah hingga akhirnya dirawat di ruang ICU.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bagaimana tidak disebut kejutan-kejutan. Karena Mario Dandy Satriyo, sang penganiaya, sampai bisa membuat pejabat-pejabat tinggi setingkat menteri kalang kabut. Bahkan terakhir Presiden Joko Widodo ikut mengecam gaya hedon yang diperlihatkan sejumlah pejabat dan keluarganya.

Yang terbaru adalah putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang gugatan perdata nomor 757/PDT/G/2022/PN.Jkt.Pst, kamis 3 Maret 2023, untuk menunda Pemilu 2024. Sontak saja putusan tersebut membuat banyak pihak langsung meradang. Yang mengguggat adalah Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima). Sedangkan majelis hakim diketuai T Oyong dengan anggota H Bakri dan Dominggus Silaban.

Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan Komisi Pemilihan Umum atau KPU selaku tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024, kemudian melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun, 4 bulan, dan 7 hari. Sungguh, otak saya butuh dua tiga menit untuk mencerna putusan tersebut.

Apa iya sih Indonesia harus kembali ke jaman jahiliah dengan putusan tersebut? Menunda tahapan pemilu sama artinya dengan menihilkan proses yang sudah berjalan, ongkos-ongkos yang sudah dikeluarkan, membuka lagi pendaftaran, dan sebagainya dan sebagainya. Rasanya mustahil majelis hakim enggak paham landasan hukum dari sebuah perkara. Masa iya sih enggak tahu mana perkara yang jadi domain mereka, dan mana yang jadi domain lembaga lain?

Menurut Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 469 ayat (2), apabila penyelesaian sengketa proses pemilu oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Kurang jelas apa pasal itu bahwa yang diberi kewenangan PTUN, bukan pengadilan negeri.

Kalau ditarik ke payung hukum yang lebih tinggi lagi, putusan PN Jakarta Pusat itu juga melanggar konstitusi. Pasal 22e ayat (1) UUD 1945 menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Naaaah … Pemilu terakhir pada 2019, maka penyelenggaraan selanjutnya harus dilaksanakan pada 2024.

Mosok sih para hakim itu enggak punya referensi aturan perundangan? Amat sangat mustahillah. Apa iya mereka tak menyadari betapa peliknya proses penentuan tanggal pemungutan suara di 2024 untuk pemilihan presiden, wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Sungguh banyak tanya di benak banyak orang. Ada apa sih dengan majelis hakim ini? Kok sampai ya pemikiran untuk menuda pemilu? Ujug-ujug para hakim ini memutuskan tahapan pemilu yang sudah dimulai sejak 14 juni 2022 harus diulang dari awal. Atau, jangan salahkan kalau ada pihak yang menduga mereka membawa misi khusus.

Partai Prima ketika dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi, sempat menggugat KPU ke bawaslu. Gugatan itu dikabulkan dan bersama empat partai lainnya, Prima diberi kesempatan tambahan melengkapi dokumen administrasi untuk menjalani verifikasi ulang. Hasilnya, KPU menyatakan Prima kembali tidak memenuhi syarat.

Dalam UU Pemilu, saluran yang diperbolehkan untuk mengajukan sengketa atas KPU adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di PTUN, Prima telah dua kali melayangkan sengketa. Sengketa pertama dilayangkan pada 30 November 2022.

Perjalanan gugatan

Mereka meminta majelis hakim PTUN Jakarta membatalkan atau menyatakan tidak sah berita acara KPU RI per 18 November 2022 dengan nomor 275/PL.01.1-BA/05/2022 beserta lampirannya, yang menyatakan mereka tidak lolos verifikasi.

Permohonan sengketa itu oleh PTUN Jakarta dinyatakan tidak dapat diterima karena objeknya bukan Keputusan KPU soal penetapan partai politik peserta Pemilu 2024.

Sengketa kedua dilayangkan ke PTUN Jakarta pada 26 Desember 2022 dengan objek Keputusan KPU soal penetapan partai politik peserta Pemilu 2024, tetapi Prima tetap kalah di meja hijau.

Hingga akhir 2022, Prima rutin menggalang propaganda. Mereka, misalnya, membentuk aliansi bernama “Gerakan Melawan Political Genocide” yang mayoritas berisi partai-partai yang tidak lolos tahap pendaftaran 15 Agustus 2022, yakni Partai Masyumi, Perkasa, Pandai, Kedaulatan, Reformasi, Pemersatu Bangsa, dan Berkarya, serta Partai Republik Satu yang tak lolos verifikasi administrasi.

Partai Prima juga beberapa kali berdemonstrasi di kantor KPU RI. Termasuk, pada Rabu (14/12/2022), jelang pengumuman dan penetapan partai politik peserta pemilu 2024 oleh KPU. Ketua DPW Prima DKI Jakarta Nuradim sempat meloncat pagar tinggi kantor KPU RI dan merangsek ke halaman, sebelum diamankan tim Jagat Saksana yang notabene tim pengamanan dalam (pamdal) KPU.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *