Kisah Miris Warga di IKN Nusantara, Khawatir Tersingkir setelah Tetangga Terpaksa Tinggalkan Kampung

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Pembangunan di IKN Nusantara, Kalimantan Timur (Kaltim) yang terus digiatkan Pemerintah menyisakan cerita pilu warga.

Warga setempat yang rumah atau lahannya masuk kawasan IKN Nusantara harus merelakannya untuk proyek pembangunan Ibu Kota Negara yang baru tersebut.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sayangnya, warga di kawasan IKN Nusantara ini merasa khawatir bakalan tersingkir dari kampungnya sendiri lantaran mereka tidak mampu lagi membeli lahan di sekitarnya.

Kekhawatiran warga di kawasan IKN Nusantara ini diungkapkan warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku,

Salah satunya adalah Thomy Thomas.

Ia merasa semakin khawatir setelah tetangganya, Hamidah terpaksa meninggalkan kampung.

Rumah dan kebun Hamidah masuk Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN Nusantara.

Uang ganti rugi yang diterima Hamidah tak cukup untuk membeli lahan baru hingga kemudian memutuskan pindah.

Hamidah tak punya pilihan lain selain meninggalkan kampungnya sendiri.

Pada Desember tahun lalu, pemerintah sudah membayar ganti rugi kebun.“

Sekarang tunggu (rumah) dibayar kami mau pindah. Di sini sudah enggak punya apa-apa lagi.

Kebun enggak ada, rumah enggak ada, mau beli tanah di sini mahal,” keluh Hamidah.

 

Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) menilai, rumah Hamidah yang berdiri di atas lahan 155 meter persegi tepat pinggir jalan poros menuju titik nol IKN itu dihargai senilai Rp 56 juta termasuk tanaman di atasnya.

Bersama anak dan dua cucunya, Hamidah berencana menetap di Tanah Grogot, ibu kota Kabupaten Paser berbatasan dengan PPU.

Di sana, kata Hamidah, ada lahan orangtua yang bakal ia garap dan memulai hidup baru.

Rumah Thomy Thomas hanya berjarak 200 meter dari rumah Hamidah.

Thomy meminta pemerintah memberi harga ganti rugi yang pantas agar warga yang kehilangan lahan, bisa membeli lahan baru yang harganya sudah melonjak tinggi.

“Lambat laun kami semua ini bakal tergusur,” keluh Thomy. Bapak satu anak ini menyebut, kini warga mulai sadar komitmen pemerintah tidak menggusur warga sekitar di awal pemindahan IKN, hanya omong kosong belaka.

Ronggo Warsito bersama istrinya juga demikian. Rumah pasangan suami istri ini masuk KIPP, hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari titik nol IKN.

“Kami merintis awal di sini sengsara. Sepi enggak ada tetangga, enggak tidak ada listrik, enggak ada air bersih, diserang nyamuk malaria.

Giliran ramai, kami mau menikmati IKN malah digusur entah kemana, bingung,” keluh Ronggo.

Warga protes

Luas KIPP IKN sudah ditetapkan 6.671,55 hektar.

Dari luasan itu, sebanyak 12 persen atau 817,89 hektar terdapat penguasaan masyarakat sehingga perlu diganti rugi.

Ada ratusan warga dari tiga desa terdampak baik lahan perkebunan sawit, karet atau buah-buahan hingga bangunan dan rumah tinggal.

Ketiga desa ini yakni Desa Bumi Harapan seluas 345,81 hektar, Desa Bukit Raya 0,01 hektar dan sisanya masuk Kelurahan Pemaluan.

Penyerahan hasil ganti rugi tahap pertama sudah dilakukan ke sebagian warga di Desa Bukit Raya dan Desa Bumi Harapan sejak Desember 2022 lalu, termasuk Hamidah salah satunya.

Selanjutnya, untuk tahap kedua sebanyak 45 warga pemilik kebun dan bangunan dan tahap tiga sebanyak 62 warga yang bakal dibebaskan.

Namun, setelah kloter pertama, saat warga sudah mengetahui harga per meter. Tiba-tiba muncul penolakan karena menurut warga nilai ganti terlalu rendah.

Warga juga kecewa karena sebelumnya sudah menaruh harapan dengan janji manis petugas kecamatan setempat.

“Katanya, warga bakal tersenyum setelah lihat hasil (nilai ganti rugi). Mendadak jadi sultan semua. Tapi faktanya justru sebaliknya,” ucap Ronggo.

Ronggo menyebut, harga ganti rugi lahan warga hanya berkisar Rp 115.000 sampai Rp 300.000 per meter.

Sementara, lonjakan harga tanah di sekitar IKN sudah mencapai Rp 2 – Rp 3 juta per meter.

Penolakan warga itu membuat penyerahan hasil penilaian tim penilai sempat tersendat pada tahap dua.

Merasa terintimidasi

Selain protes harga rendah, warga juga menuding proses pembebasan lahan sangat tertutup. Bahkan, harga satuan per meter serta tanam tumbuh, tidak diumumkan secara terbuka.

Saat penyerahan hasil ganti rugi, warga mengaku dikumpulkan di sebuah ruang terbuka di kantor Kecamatan Sepaku.

Lalu, satu per satu dipanggil masuk ruangan tertutup. Di dalam situ sudah ada petugas (tim pengadaan tanah).

“Baru warga diberi amplop suruh buka lihat hasilnya (terserah nominal uang ganti rugi). Bagi yang setuju tanda tangan, kalau tidak setuju dititip di Pengadilan,” ungkap Ronggo.

Di amplop itu, tidak dirincikan harga satuan lahan per meter dan nilai tanam tumbuh. Hanya, tertera nilai uang secara keseluruhan.

Ronggo menyebut, sebagian warga mengaku menerima saja karena tertekan dengan kata petugas, “jika menolak uang dititipkan di Pengadilan”. Salah satunya Hamidah.

Ia bahkan tak bisa membaca total uang ganti rugi kebunnya. Tapi memilih setuju agar tak dibawa ke pengadilan.

Sementara, Ronggo mengambil sikap menolak. Setelah mengetahui nominal keseluruhan, ia lalu membagi dengan luas lahannya dan mendapat hasil Rp 180.000 per meter.

“Saya sanggah karena merasa terlalu rendah dan luasan kebun saya juga tidak sesuai, lebih kecil dari hasil ukur tim Satgas. Di situ saya tolak,” tegas Ronggo.

Gayung bersambut. Warga lalu beramai-ramai menolak.

Puncaknya, warga memasang spanduk keluhan soal nilai ganti rugi di beberapa titik sekitar kawasan IKN jelang kedatangan Presiden Jokowi ke IKN, Kamis (23/2/2023).

Namun, dicopot petugas atas instruksi polsek setempat melalui lurah. Padahal, niat warga ingin memperlihatkan ke Jokowi agar mendengar keluhan warga pemilik lahan di KIPP.

Sejak melakukan protes, Ronggo mengaku sering didatangi petugas dari kecamatan, tim penilai hingga polisi dan TNI ke rumahnya.

“Katanya semua setuju loh, hanya sampean saja. Kalau tidak setuju, nanti ada apa-apa sama sampean, repot,” ucap Ronggo, menirukan.

Sementara rekannya, Teguh Prasetyo juga mengaku pernah dihubungi petugas jam 12 malam ajak ketemu. Tapi, dia tak memenuhi permintaan itu.

Tak ada lahan pengganti

Sebelum sampai pada tahap akhir penyerahan hasil seperti yang diutarakan warga masuk dalam ruangan tertutup dan diberi amplop.

Tahapan pembebasan lahan untuk kepentingan umum terbagi dalam empat tahap yakni perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta penyerahan hasil.

Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 19 Tahun 2021 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Dilansir dari laman Kompas.com menemukan pelaksanaan ke empat tahapan tersebut tidak berjalan efektif dan diduga melanggar tahapan.

Misalnya, tidak tersedia lahan pengganti atau relokasi bagi warga terdampak KIPP. Yang tersedia hanya berupa uang.

Padahal, Pasal 76 Permen ATR menyebutkan, bahwa ganti rugi lahan bisa berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Thomy menyebut, petugas kadang mensosialisasikan lahan pengganti atau relokasi warga yang berdampak IKN, tapi tidak ada realisasi.

“Ngomong saja, enggak ada lahan yang disiapkan. Buktinya sampai sekarang enggak ada lahan yang disiapkan buat relokasi warga.

Mana lahannya? Enggak ada. Kita tanya mereka kadang jawab enggak nyambung, jadi warga malas nanya,” ungkap Thomy sedikit kesal.

Akibat tak ada pilihan lahan pengganti atau relokasi, Hamidah terpaksa kehilangan kebun meski itu satu-satunya sumber penghasilan keluarga dan juga rumah.

Padahal, jika ada pilihan lain, Hamidah mengaku bakal memilih lahan pengganti atau relokasi ketimbang uang.

“Uang bisa habis. Kalau kebun panen sedikit-sedikit penghasilan ada terus,” kata Hamidah.

Tak hanya itu, warga juga mengaku tidak mengakses dokumen studi kelayakan atau Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) saat uji publik.

Padahal, dalam Pasal 3 Permen ATR, DPPT merupakan hasil studi kelayakan yang salah satu itemnya mengkaji dampak sosial ekonomi, budaya dan lingkungan yang timbul serta cara penyelesaiannya.

Dokumen itu disusun melibatkan tim ahli, lalu diverifikasi tim yang dibentuk Gubernur Kaltim.

“Saya ini hampir setiap kali pertemuan selalu hadir. Enggak pernah kami terima atau baca dokumen itu,” kata Thomy.

Padahal, konsultasi publik berlangsung selama 60 hari oleh tim yang dibentuk Gubernur Kaltim bernama Tim Persiapan dengan melibatkan asisten yang membidangi urusan pemerintahan, biro hukum, bupati, dan pejabat pertanahan setempat.

Tapi Ronggo, Thomy, Teguh hingga Edy mengaku tidak lebih dari 5 atau 6 kali dipanggil ke kantor camat.

Undangannya hanya melalui grup whatApps yang beranggotakan warga terdampak KIPP.

Warga mengaku tidak mendapat penjelasan yang detail perihal nasib mereka setelah rumah dan lahannya dibebaskan saat sosialisasi maupun uji publik.

“Semua penuh dengan ketidakpastian. Warga enggak tahu harga, enggak tahu di mana lokasi relokasi, pokoknya simpang siur informasinya,” terang Ronggo.

Edy mengatakan, setiap ada undangan pertemuan di kantor camat, yang terjadi hanya satu arah. Petugas panjang lebar menjelaskan, tapi masyarakat tidak banyak paham termasuk dirinya.

“Biasanya di spanduk itu ada tulisan sosialisasi. Tapi kita enggak tahu, enggak ngerti apa yang disampaikan petugas di depan,” kata Edy.

Proses transfer informasi yang tidak efektif itu diperparah dengan pematokan lahan warga secara mendadak tanpa diketahui pemilik.

Jika merujuk ke empat tahapan di atas, pematokan harusnya di lakukan saat tahap pelaksanaan apabila semua warga sudah setuju pada tahap perencanaan hingga persiapan.

“Ini masyarakat banyak tidak tahu apa-apa, tiba petugas turun pasang patok batas KIPP. Ada yang di depan rumah warga, samping, belakangan, ya warga kaget,” terang dia.

Misskomunikasi

Sekretaris Camat Sepaku, Hendro Susilo mengakui ada proses tranfer informasi yang tidak efektif sejak awal tahapan.

Akibatnya, timbul persoalan karena adanya misskomunikasi.

“Kemarin ada info patok dibuang, waktu itu ada juga yang dibawakan parang, jadi ini miskomunikasi,” kata dia.

Hendro mengaku, tidak mengetahui pola komunikasi tim saat sosialisasi dan uji publik sebelumnya, karena dirinya belum bergabung.

“Kami enggak salahkan sebelumnya. Tapi, apakah semua sosialisasi sudah dilakukan secara maksimal tahap demi tahap. Bahasanya pun harus warung kopi, biar lebih mudah dipahami masyarakat,” kata dia.

Anggota Tim Persiapan, Imanudin mengklaim, seluruh tahapan dari perencanaan hingga penyerahan hasil sudah berjalan sesuai ketentuan.

Hanya pemahaman masyarakat tidak merata. Setiap kali melakukan sosialisasi atau uji publik, kata dia, pihaknya selalu memberikan undangan ke RT, Lurah dan Camat.

Selanjutnya, warga diundang oleh RT. Tapi, warga mengaku diundang melalui WhatsApps grup. Itu pun tidak disampaikan agenda. Hanya diminta datang ke kantor camat.

“Kalau kami melanggar tahapan tentu jadi temuan. Hanya memang warga mungkin tidak cukup informasi untuk berdiskusi,” ungkap pria yang menjabat Kabag Pemerintahan, Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setprov Kaltim ini.

Kendati begitu, Imanudin mengakui semua tahapan berlangsung cepat karena diburu waktu.

Sejak tahap pelaksanaan hingga penyerahan hasil, kata dia, batas maksimal yang diberikan sesuai aturan hanya satu bulan.

Karena itu, sosialisasi dan konsultasi publik kadang dikebut bersamaan dalam satu hari.

“Misalnya, sosialisasi dari jam sekian sampai jam sekian. Setelah itu, di tempat sama kami ganti jadi uji publik, enggak masalah. Kami dikejar waktu,” kata dia.

Ganti rugi uang biar cepat Imanudin mengakui sejak awal memang tidak disiapkan lahan pengganti atau relokasi bagi warga, jika menolak ganti rugi dalam bentuk uang.

Selain lebih cepat dan praktis, ganti rugi uang juga minim risiko hukum.

“Memang pilihan utama agar mudah, maka ganti uang yang pertama. Lebih cepat proses dan pemberian negara itu dalam bentuk uang mudah, dari khas negara ke rekening warga, pembuktiannya pun lebih nyaman,” terang dia.

Tapi, melihat dinamika lapangan, pihaknya mulai memikirkan opsi penyediaan lahan bagi warga, karena sebagian warga kehilangan tempat tinggal.

“Kami sudah rapat dengan Otorita IKN agar disiapkan lahan pengganti atau perumahan tapi sampai saat ini belum ditentukan lokasi pastinya,” kata Imanudin.

Merujuk ke Permen ATR, pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang dilakukan dalam waktu paling lama 17 hari hari sejak penyampaian hasil validasi.

Kemudian, tanah pengganti disediakan pemerintah paling lama 6 bulan sejak diterimanya permintaan tertulis dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah.

Sementara, relokasi atau permukiman baru, paling lama satu tahun. Lokasi tanah pengganti atau relokasi, harus didasarkan kesepakatan pada saat musyawarah bersama warga terdampak.

Otorita IKN siapkan lahan Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Alimuddin mengakui pihaknya belum menyiap lahan pengganti atau pemukiman kembali bagi warga terdampak KIPP IKN.

“Karena memang organisasi ini (Otorita) baru dilengkapi jadi masyarakat juga bisa memahami. Tapi prinsipnya kami merespons baik. Kami menyiapkan lokasi di sekitar IKN bagi warga terdampak,” kata dia.

Nantinya, di pemukiman kembali warga itu akan dibangun dengan standar adil dan layak. Termasuk seluruh fasilitas pendukung dan fasilitas umum agar bisa mewadahi kesejahteraan masyarakat.

Alimudin mengatakan, ada beberapa lokasi yang masuk dalam perencanaan saat rapat tiga deputi yakni Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Lingkungan Hidup dan SDA serta Deputi Perencanaan dan Pertanahan.

“Sesegera mungkin kami harus siapkan. Itu wajib agar warga tidak tersingkir, tetap berada di Sepaku, menikmati pembangunan IKN,” kata dia.

Tak bisa intervensi nilai tanah

Soal harga ganti rugi lahan yang diprotes warga, Alimuddin menilai banyak warga sudah termakan informasi liar perihal lonjakan harga tanah di sekitar IKN yang naik hingga miliaran rupiah.

“Padahal, tidak ada bukti otentik yang melakukan transaksi seperti itu. Jika ada bukti, tentu jadi salah satu acuan bagi tim penilai untuk menentukan nilai tanah masyarakat,” kata Alimuddin.

Sekretaris Camat Sepaku, Hendro Susilo menduga kekecewaan warga salah satu pemicunya termakan janji manis oleh pihak-pihak tertentu perihal tingginya nilai ganti rugi.

Begitu terjadi sebaliknya, warga kecewa. Selain itu, Hendro juga meminta masyarakat harus memahami informasi yang utuh perihal penilaian harga tanah.

“Tim penilai tanah itu adalah tim independen yang memiliki keahlian dalam bidang itu. Jadi, enggak sembarangan menentukan harga. Jika kita negosiasi harga, berarti kita justru intervensi, ya enggak bisa,” kata dia.

Bantah ada intimidasi

Alimuddin dan Hendro membantah tak ada intimidasi dalam proses penyerahan hasil nilai tanah warga.

Alimuddin mengatakan, pemanggilan satu per satu warga masuk dalam ruang itu dalam rangka memberitahu nilai tanah.

“Jadi terima amplop itu memang dibuat satu-satu. Karena harga berbeda antar warga. Luas lahan, letak, legalitas semuanya mempengaruhi harga,” kata Alimuddin.

Dia meminta masyarakat juga perlu memahami tahap demi tahap dalam proses pembebasan lahan itu agar tidak terjebak dalam informasi keliru.

Sementara, Hendro mengatakan, tujuan dipanggil satu per satu dalam ruangan itu agar bisa konsentrasi memutuskan memutuskan antara menerima hasil penilaian tersebut atau menolak.

“Ini penentuan akhir jadi warga mesti konsentrasi. Kalau diruang terbuka, banyak orang ada potensi dipengaruhi orang lain,” kata dia.

Meski begitu, Hendro mengaku akan menyampaikan ke tim pengadaan agar bisa dipertimbangkan masukan warga perihal diumumkan secara terbuka perihal harga.

Bukan dialog tapi mobilisasi

Dosen Program Studi Pembangunan Sosial Universitas Mulawarman, Sri Murlianti menyebut klaim pemerintah perihal dialog dengan masyarakat setempat terkait IKN maupun ganti rugi lahan, hanya kosongan belaka.

Yang terjadi, kata Sri, justru mobilisasi warga.

“Saya ke sana wawancara warga, yang terjadi justru mobilisasi. Di mana warga di datangkan ke kelurahan, kecamatan, baru diberi angin segar, pokoknya jangan khawatir.

Sampai detik terakhir pun pokoknya jangan khawatir. Jangan mempersoalkan tanah, nanti dibakal ganti rugi,” ungkap Sri.

Untuk itu, Sri melihat masyarakat di sekitar IKN seperti dalam situasi ketidakpastian.

Kekhawatiran tergusur hingga hilang ruang hidup terus menghantui. Karena, sejak awal, kata dia, tidak ada penelitian mendalam perihal kondisi masyarakat setempat sebagai penerima langsung dampak dari pembangunan.

“Yang terjadi justru sebaliknya. Diketok dulu (IKN) pindah baru penelitian menyusul. Itu pun hanya beberapa hari di lapangan dan tidak masuk ke perkampungan masyarakat,” terang Sri.

Untuk itu, Sri menilai selama prosesnya tidak ada partisipasi publik yang bermakna atas terselenggaranya pembangunan IKN di Sepaku.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *