Orientasi Kita terhadap Ramadan Masih Belum Berubah

Ilustrasi istimewa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Masrifan Djamil

Hajinews.id — Pemandangan yang umum di masjid ketika Romadlon sungguh membahagiakan, demikian banyak umat Islam “digerakkan oleh Romadlon” memenuhi masjid dan musholla. Mari kita perhatikan lebih teliti, ternyata di awalnya masjid tidak kuat menampung jamaah. Saking banyaknya jamaah, jamaah tumpah ke halaman.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Selanjutnya semakin ke tanggal tua Romadlon, semakin sedikit jumlah jamaahnya. Masyarakat mengistilahkan “maju shafnya”. Kalau diumpamakan pesawat, menurun karena sedang landing…

Namun mengapa di pusatnya Islam (masjid Haromain, Makkah dan Madinah), dan banyak yang demikian di negeri Timur Tengah sampai Afrika hingga Marocco jumlah jamaah sebaliknya di akhir Romadlon. Semakin berjubel jamaahnya pada sepuluh terakhir Romadlon. Maka kalau digambarkan seperti pesawat, sedang take off.

Mengapa umat Islam di negeri kita dari dulu sampai sekarang masih saja demikian, padahal Islam masuk ke Indonesia sudah amat lama. Di Pulau Sumatera, Islam masuk pada tahun 674 M di Pantai Barat Sumatera. Jadi sampai sekarang sudah 1.349 tahun memeluk Islam. Namun di tanah ini lebih baik, karena ada semboyan

Islam masuk Pulau Jawa pada tahun 1020 an. Pada tahun 1430 Dinas Ming mencatat ada komunitas muslim China, Arab dan Melayu di Semarang, Demak, Tuban dan Ampel. Kerajaan Demak mulai berdiri tahun 1475. Dari data tersebut Islam sudah ada di negeri kita dari catatan Dinasti Ming sudah 593 tahun. Kalau dari Kerajaan Demak sudah 548 tahun…. Dahsyat ya….

Meskipun lebih dari 500 tahun Islam di negeri kita, masih bervariasi dalam internalisasinya, sehingga banyak masalah muncul, misalnya masih suburnya kesyirikan, campur-campur ritual lama dengan Islam (makan-makan di kuburan, tetapi doanya Islam), riba dipandang biasa, korupsi skalanya dahsyat, sampai ke rakyat (money politics).

Sebagian masyarakat menganggap makam adalah tempat ngalap (mencari) berkah, maka dilakukan ritual tertentu ketika ziarah. Adanya tempat yang dikenal sebagai tempat yang bisa memberi kakayaan (pesugihan), asalkan ritualnya didahului zina dengan yang bukan suami atau istrinya siapa saja yang ditemui di lokasi, walaupun pelakunya memakai berjilbab, menunjukkan mereka beragama Islam.

Pandangan umat terhadap Romadlon

Oientasi muslimin sekarang ini masih levelnya “rendah” yaitu ketika Romadlon konsentrasi utamanya ialah Idul Fitrinya, bukan ibadah semaksimalnya 10 hari terakhir Romadlon. Padahal 10 hari terakhir Romadlon amat besar fadhilah (keutamaan)nya yaitu pengampunan dosa, mendapat lailatul qodar (malam qodar) yang lebih baik dari 1000 bulan, maka Allah SWT akan memasukkan ke dalam surgaNya karena ridlo terhadap umatnya ini yang puasa lewat pintu khusus “Ar-Royyan”.

Nyatalah setelah ratusan tahun memeluk Islam, umat belum berhasil mendidik atau mengubah pandangan diri muslimin dalam memahami Romadlon. Maka bisa dipahami kalau masih seperti itu gambaran masjid di negeri kita, awalnya penuh, tengahnya kurang, akhirnya sepi di akhirnya. Jamaah yang rajin ke masjid di bulan Romadlon, sirna di bulan syawal, karena ritual bulan syawal tidak sinkron dengan amalan shalat berjamaah di masjid atau karena shalat berjamaah di masjid hukumnya sunnah.

Penyebabnya sangat mungkin adalah karena umat kurang ilmu Islamnya. Bisa kita telaah, bahwa pengajian yang mainstream diikuti umat yang banyak jumlahnya, masih didominasi ibu-ibu rumah tangga dengan model pembinaan umat. Penyebab lain ialah kurikulum sekolah minim pendidikan agama, sekolah madrasah yang dulu dibuka pukul 14.00 sd jam 17.00 musnah karena perubahan jam belajar murid SD, SLP dan SLA yang sampai pukul 15.00 atau lebih. Pengajian hanya digemari sekelompok kecil umat, hanya pengajian peringatan hari besar yang ramai, karena banyak acara menarik dan bisa jadi karena banyak makanan disajikan.

Sedikit potret pola pembinaan umat di lapangan

Majelis taklim umumnya hanya ibu-ibu (emak-emak). Dilaksanakan setiap pekan umumnya di hari Jum’at bakda ashar. Ketika belum hadir semua jamaah pengajiannya, sekumpulan ibu-ibu yang akan mengaji melakukan ritual rutin di majelis taklim sebagai berikut:

Pertama, pembacaan asmaul husna dengan dilagukan secara bersama. Berikutnya ialah membaca sholawatan, juga ada lagunya yang dipertahankan sejak lama, juga ada yang melantunkan sholawatan Gus Dur. Selanjutnya karena MC sudah hadir, maka segera diambil alih untuk melaksanakan prosesi yang resmi. Pertama pembukaan oleh MC dengan membaca al-fatihah. Isi utama adalah membaca surah yasin, dilanjut dengan tahlil disempurnakan dengan mendoakan dan kirim pahala kepada arwah.

Jika ada ustadz / ustadzah yang diundang untuk ceramah (tidak setiap pekan ada) maka diberikan taushiyah kepada jamaah. Umumnya belum ada 30 menit waktunya, ditutup karena sudah mepet waktu shalat maghrib.

Kisah nyata

Saya pernah mempunyai sahabat karena haji bareng tahun 2000. Istrinya mengeluh kepada saya, sudah puluhan tahun mengikuti pengajian di kelompoknya (perumahan), namun ilmu Islamnya tidak bertambah. Beliau (almarhum) setelah membaca teks-teks pengajian saya di majelis-majelis taklim, yang sederhana topiknya tentang Islam, tetapi rutin berserial, minta dikirimi lagi. Teks pengajian yang saya bagikan dalam bentuk fotokopi hanya 2 halaman HVS bolak balik, dg format halaman buku – meniru selebaran materi pengajian di masjid yang disebarkan pada shalat Jum’at.

Secara rutin akhirnya saya kirimi istri sahabat saya itu (melalui suaminya), dan pasti kalau ada reuni jamaah haji se kloter di rumahnya, saya diminta memberi pengajian disertai tanya jawab.

Pola ini berkembang di beberapa majelis taklim dimana saya diminta rutin memberi materi, saya design materi bersambung agar jamaah paham sejak awal pemahaman rukun Islam, rukun Iman, diperkuat dengan ayat Al-Qur’an dan sunnah-sunnah.

Pulang dari pengajian, jamaah membawa teks yang bisa dikaji ulang di rumah. Pola yang sama sekarang dipakai untuk pengajian ZOOM (online, Majelis Taklim DAKWAH dari BANYUMANIK), materinya bisa dikaji ulang di youtube, kadang-kadang dikirim teks PDF paparan ustadz.

Umat Islam harus menggerakkan kajian Ilmu Islam intensif dan rutin

Jadi edukasi agar orientasi terhadap Romadlon menjadi yang sebenarnya, yakni semakin penuh masjidnya pada akhir Romadlon, sebenarnya bisa menggunakan kelompok-kelompok pengajian tersebut. Atau membenahi pendidikan anak di SD/SMP/SMA dengan tujuan anak paham agamanya dengan baik. Sekolah swasta lebih mampu melaksanakan hal itu, sedang sekolah negeri “terbatas” oleh ketentuan kurikulum ketetapan negara. Jika anak diedukasi dengan baik, maka ketika dewasa akan menerapkan Islam dengan baik, sehingga masjid-masjid akan semakin penuh di akhir Romadlon, negara diuntungkan, karena mereka takut berbuat munkar. Tentu menyebabkan crime rate menurun.

Akibat dari miskinnya edukasi (tarbiyah Islamiyah) dan pembentukan lingkungan yg Islami, terjadilah masjid semakin sepi di akhir Romadlon, sebaliknya Mal-mal dan super market, jalan-jalan raya semakin penuh sesak manusia menjelang Idul Fitri. Karena orientasi pemeluknya masih Idul Fitri lebih utama, bukan kepada pengampunan selama Romadlon dan mendapat lailatul qodar yang lebih baik dari 1000 bulan dan surga dengan pintu khusus bagi orang yang berpuasa.

Mungkin juga karena kurangnya ilmu dari umat disebabkan karena miskin edukasinya, menjadi penyebab kemungkaran di negeri ini semakin menjadi-jadi, jika dikaitkan dengan eskalatifnya berita tentang kasus narkoba, pembunuhan, perkosaan, perselingkuhan, naiknya kasus HIV karena naiknya angka LGBT, penjarahan, semakin dahsyatnya korupsi dll.

Segmen yang dahsyat yang belum disentuh dengan efektif, intensif, tepat sasaran dan tepat tema adalah khutbah Jum’at. Banyak masjid mendesign khutbah Jum’at berserakan, yang penting ada khotibnya. Temanya tidak dibahas secara WORKSHOP, semua ustadznya dihadirkan, untuk menggarap umat. Jika khutbahnya bagus materinya (bernas), khotibnya ahli (atau terlatih) di bidang retorika, bersambung materinya masing-masing ustadz/ulamanya, umat akan tercerahkan dengan sistematis, karena mereka sukarela datang ke masjid setiap jum’at.

Potensi ini yang amat strategis ini belum diolah oleh takmir masjid secara maksimal, padahal ada 52 Jum’at, yang bisa diisi materi Ke-Islaman yang clear dan mudah dipahami, pulang jum’atan teks khutbah bisa diberikan. Jadi memang takmir harus kuat, bisa dan mempunyai biaya yang cukup. Paling tidak Masjid Jogokaryan Yogya, Masjid Al-Falah Sragen dan Masjid Al-Hikmah Sendang Gede Banyumanik Semarang telah membuktikannya.

Potensi lain yang bisa digarap intensif adalah taushiyah Romadlon. Masjid yang telah terbina pasti ada kegiatan taushiyah (pengajian) di 3 waktu: sebelum buka, setelah tarawih dan bakda subuh. Kebanyakan juga peluang dakwah di waktu ini tidak digarap dengan baik, mungkin karena kekurangan muballigh/da’I atau takmir masjid tidak memahami potensi itu. Maka materinya yang sebenarnya bisa dikelola untuk memahamkan Islam, menjadi kurang efektif. Hari demi hari hanya surah Al-Baqoroh 183 yang dibahas….

Jadi, ternyata takmir masjid itu harus canggih ya, harus berilmu dan ada skill managerial dan leadershipnya, bukan hanya sekedar sekelompok marbot….

*) Dr. dr. Masrifan Djamil, MPH., MMR, di forum pengajian dikenal sebagai Ustadz DR. Dr. M Masyrifan Djamil. Koordinator Presidium MW KAHMI Jateng. Tinggal di Semarang.
Artikel ditulis pada 26 Romadlon 1444 / 17 April 2023.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *