Mengapa Harus Perubahan?

Mengapa Harus Perubahan?
Kolase Foto Jokowi, Anies dan Ganjar
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ciri spesifik kedua dari kebijakan Big Push Jokowi adalah penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Utang pemerintah sejak 2014 telah meningkat dari Rp.2.600 trilyun menjadi Rp. 7.700 trilyun pada akhir desember 2022. Di luar itu Big Push juga dibiayai oleh utang BUMN, pada akhir tahun 2022 utang itu mencapai Rp. 1.640 trilyun. Perhitungan secara kasar, sampai akhir tahun 2022, Jokowi telah menggunakan utang sebesar Rp.6.840 trilyun untuk membiayai projek-projek Big Pushnya. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Seperti diketahui, Orde Baru juga membangun infrastruktur secara besar-besaran. Namun, semua itu dilakukan pada saat negara menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak pada awal dekade 1970-an. Demikian juga Presiden SBY, ia menggenjot pembangunan infrastruktur saat negara sedang menikmati booming harga komoditas, yang berakhir pada 2013 silam.

Penggunaan utang sebagai sumber dana pembangunan juga hal yang biasa, semua presiden di Indonesia melakukannya. Masalahnya terletak pada nilainya. Utang yang sangat besar akan meningkatkan tekanan terhadap keuangan negara. Bunga dan cicilan utang itu harus dibayar oleh APBN. Bila kecepatan kenaikan utang tidak diimbangi oleh kenaikan pendapatan (pajak), kapasitas fiskal pemerintah dengan sendirinya akan menyusut. Hal itu akan mempengaruhi kemampuan negara memenuhi aneka kebutuhan rakyat, seperti subsidi, jaminan kesehatan, pendidikan dsb.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu berdalih bahwa utang telah dikelola dengan hati-hati (prudent) dan tidak membebani keuangan negara. Ia mencontohkan bahwa debt ratio kita masih 41%, masih jauh dari batas yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu 60%. Sebagai perbandingan ia menunjuk rasio utang terhadap PDB (debt ratio) Jepang (236%), India (90%), dan Amerika Serikat (125%), yang jauh melampaui posisi Indonesia. Perbandingan ini tidak setara (apple to apple) sebab setiap negara adalah khas. Keuangan negara Jepang masih dapat dibilang sehat, dalam arti sangat mampu membayar utangnya, karena Debt Service Rationya pada tahun 2021 hanya 1,06%. Demikian juga India (8%) dan Amerika Serikat (7,7%). Debt service ratio adalah kemampuan keuangan pemerintah untuk membayar utang-utangnya, menurut BPK Debt service ratio Indonesia untuk tahun 2021 adalah 46,77%. Angka ini jauh melampau standar normal IMF yaitu pada kisaran 25-35%.

Implikasi Big Push

Kedua ciri di atas, membedakan Big Push Jokowi dari kebijakan Big Push Soeharto, Big Push SBY dan negara lain di dunia.

Kebijakan Big Push Jokowi ini menimbulkan sedikitnya empat implikasi negatif. Pertama, Big Push Jokowi bukan konsep pembangunan yang demokratis, “semua untuk semua” seperti pernah dikatakan Soekarno. Big Push dirancang untuk menguntungkan pebisnis skala besar, konglomerat atau oligarki. Tidak mengherankan bila mereka pula yang akan menjadi pendukung utama Big Push.

Oleh karena itu, Big Push membawa implikasi negatif kedua bahwa semua kepentingan yang menghalangi dan menghambat kepentingan oligarki harus disingkirkan. Diantara kepentingan-kepentingan yang harus disingkirkan adalah kepentingan buruh (kehilangan pensiun, kesempatan karir, pelatihan, dll), generasi mendatang (penumpukan utang negara, eksploitasi sumberdaya alam tak terpulihkan, kerusakan alam), pemilik tanah (akuisisi tanah oleh negara, penurunan harga tanah, perampasan tanah, dlsb), dan konsumen (harga-harga meningkat). Inilah hakikat dari disahkannya UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Kedua undang-undang itu disahkan secara semena-mena, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dan tanpa melalui debat terbuka di Sidang Umum DPR.

Akibat dari penyingkiran kepentingan para pihak secara semena-mena, politik bergejolak. Rejim Jokowi mengantisipasi gejolak itu dengan penindasan. Inilah implikasi ketiga yang mendorong mundur nilai-nilai demokrasi.

Jokowi memperalat hukum sebagai alat penindasan. Perangkat hukum yang digunakan adalah UU ITE dan UU KUHP. Dengan undang-undang itu rejim memperluas pengertian pemberitaan sehingga mencakup opini dan percakapan pribadi di media sosial. Syahganda Nainggolan, M. Jumhur Hidayat, Anton Permana, Gus Nur, Bambang Tri, dsb, menghuni penjara karena alasan itu. Ketika opini bisa dipidanakan, bukan karena penodaan agama, pencemaran nama baik, atau penghinaan di muka umum, maka kebebasan berpendapat hanya tinggal nama.

Sementara itu UU No.1/2023, yang menggantikan UU KUHP warisan Belanda, menjadi jauh lebih restriktif dalam menghadapi kontrol sosial. UU baru itu mengenakan pasal pemidanaan baru untuk penghinaan presiden, pasal makar, penghinaan lembaga negara, pemidanaan demo tanpa pemberitahuan, hingga berita bohong. UU KUHP yang baru itu bahkan jauh lebih parah daripada undang-undang kolonial yang digantikannya. Bila sebelumnya semua pasal di atas merupakan delik aduan maka pada undang-undang baru polisi dan jaksa dapat memprosesnya tanpa perlu pengaduan. Dengan kata lain, pasal-pasal itu dapat dipergunakan untuk melakukan pembungkaman politik.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *