Seperempat Abad Reformasi: Belajar dari Kehidupan Semut

Belajar dari Kehidupan Semut
Hafid Abbas
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Hafid Abbas, Mantan Ketua Komnas HAM RI

Hajinews.id – Tidak terasa, kini Indonesia telah melewati seperempat abad perjalanan sejarahnya berubah dari sistem pemerintahan yang berciri otoritarian selama 32 tahun ke tatanan pemerintahan yang demokratis.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tuntutan memilih jalan demokrasi di penghujung abad ke-20 itu, dipicu oleh memburuknya keadaan ekonomi nasional sebagai akibat krisis moneter yang telah melanda Thailand pada pertengahan 1997. Krisis ini kemudian meluas ke kawasan yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi kita pada 1998 mencapai -16,54% (hyperinflation and depression).  Angka penduduk miskin tiba-tiba berlipatganda menjadi sekitar 79,4 juta orang atau 39,1% dari 202 juta penduduk, dan PHK terjadi di mana-mana (BPS, 1998).

Kegoncangan ini kemudian membawa pula kegoncangan sosial dan politik dan krisis multidimensi yang memaksa era kekuasaan Orde Baru yang didukung oleh kekuatan bersenjata harus digantikan dengan supremasi sipil dalam payung negara demokrasi.

Pada waktu itu kita belum siap berdemokrasi yang mengharuskan, misalnya adanya pembagian kekuasaan yang berimbang antara kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif, antara pusat dan daerah, adanya kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan media, dst. Yang terjadi pada masa itu hanyalah sebuah keberanian untuk segera berubah.

Akumulasi tuntutan reformasi itu dipicu oleh tertembaknya empat mahasiwa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998.

Ibarat sumbu petasan, peristiwa itulah yang meledakkan perubahan sosial-politik. Peristiwa ini merupakan pintu gerbang lahirnya era demokratisasi yang telah mengantar pergantian kepemimpinan nasional secara amat dramatis.

Euforia demokratisasi, HAM dan kebebasan berekspresi seakan tidak terelakkan. Bahkan kebebasan seperti itu dinilai telah melewati batas-batas kepatutan menurut ukuran-ukuran negara paling bebas dan paling demokratis sekalipun. Kalau dulu dikenang semangat heroisme sekali merdeka tetap merdeka, sekarang semangat itu bermakna ”sekali merdeka, merdeka sekali.”

Sebagai keputusan bersejarah yang emosional, kemarahan yang tidak terbendung, tentu tidak dimungkinkan terdapat pemikiran-pemikiran rasional yang sejuk untuk memperhitungkan segala konsekuensi yang akan ditimbulkan atas keputusan itu.

Boediono dalam pidato pengukuhan guru besarnya mengemukakan bahwa sejumlah studi juga menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu penting bagi keberlanjutan demokrasi.

Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bahwa, berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rezim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity, 2001) mempunyai harapan hidup hanya delapan tahun. Singkatnya, jika negara itu miskin, demokrasinya akan gagal (Tempo, 24/02/2007).

Sejumlah studi lain memperlihatkan, dalam dua-tiga dekade terakhir, dari 191 negara berdaulat, 117 di antaranya yang memilih haluan politik sebagai negara demokrasi. Kasus India, Brazil dan Mauritius terlihat pembangunan ekonominya cenderung semakin membaik setelah berdemokrasi.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *