Menggugat Etika Politik dan Netralitas Presiden Jokowi

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Guru Besar Hukum Tata Negara
Senior Partner INTEGRITY Law Firm
Registered Lawyer di Indonesia dan Australia

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.”

— Manuel L. Quezon

Hajinews.id – “Saya itu pejabat publik sekaligus pejabat politik”, demikian jawaban Presiden Jokowi ketika disoal cawe-cawenya dalam mengurusi koalisi dan kontestasi Pilpres 2024 (Kamis, 4 Mei 2023). Karena juga sebagai politisi, maka Presiden Jokowi merasa berhak dan wajar ikut dalam berpolitik praktis, dan merasa tidak ada aturan konstitusi yang dilanggar.

Jawaban Presiden itu seolah-olah benar. Namun, jika dikuliti lebih jauh, terutama dari sisi etika kepresidenan, maka ada batasan-batasan moral dan hukum yang dilanggar oleh Presiden Jokowi, termasuk pelanggaran konstitusi, ketika ikut turut campur dalam soal Pilpres 2024.

Tulisan ini berniat mengingatkan Presiden Jokowi untuk menjunjung tinggi etika berpolitik dan melaksanakan perintah konstitusi untuk menjadi wasit yang netral dalam pemilu.

Perlu dicatat, etika tidak bisa dipisahkan dari hukum. Pelanggaran etika adalah juga pelanggaran hukum. Etika adalah pondasi dasar hukum. Ronald Dworkin mengatakan, “Moral principle is the foundation of law”.

Presiden yang tidak mengerti etika berpolitik, etika bernegara, etika berkonstitusi, seharusnya tidak layak menjadi pemimpin bangsa. Tanpa memahami dan melaksanakan etika berpolitik kepresidenan, siapapun tidak layak menjadi Presiden Republik Indonesia.

Etika Politik Presiden Vs Etika Politik Joko Widodo

Setiap orang tentu dijamin hak dan kebebasannya untuk berpolitik. Namun demikian, tetap ada etika dan hukum yang berbeda ketika mengatur berpolitik untuk orang pribadi dibandingkan berpolitik sebagai pejabat publik, termasuk seorang presiden.

Jika disandingkan, ada perbedaan prinsipil antara politik institusional Jokowi sebagai Presiden, dengan politik personal Joko Widodo sebagai pribadi.

Nah, irisan antara politik Presiden Jokowi, dengan politik pribadi Joko Widodo itu yang harus dipahami, serta wajib dipisahkan penyikapannya secara tegas dan disiplin. Salah memahami, ataupun mencampur-adukkan antara politik sebagai presiden dengan politik sebagai pribadi, akan mengakibatkan benturan kepentingan (conflict of interest) yang berbahaya bagi kehidupan bernegara.

Paling tidak ada dua aspek yang membedakan antara politik institusional Presiden Jokowi dengan politik personal Joko Widodo tersebut, satu, kepentingan yang diperjuangkan, dan dua, fasilitas yang digunakan.

Dari sisi kepentingan, sebagai pejabat publik, politik presiden adalah untuk kepentingan publik. Politik institusional presiden, adalah politik kebangsaan. Politik yang didedikasikan hanya untuk Republik Indonesia. Politik untuk seluruh rakyat, tanpa kecuali, tanpa membedakan, tanpa diskriminasi.

Politik institusional presiden tidak boleh partisan. Artinya, presiden tidak boleh berpolitik untuk tujuan sekelompok masyarakat ataupun partai politik pendukungnya saja.

Karena itu menjadi aneh ketika sebagai Presiden, Jokowi masih memiliki dan mengadakan temu relawan. Sifat dasar relawan adalah partisan dan dilahirkan untuk memenangkan kandidat presiden yang didukungnya. Relawan adalah elemen pemenangan capres. Bagi presiden yang sedang memerintah seharusnya tidak ada lagi elemen relawan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *