Pemilu Turki, Pemilih Muda, dan Persoalan yang Belum Selesai

Pemilu Turki
Pemilu Turki
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Savran Billahi, Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta, lulusan Master Hacettepe University Ankara

Hajinews.id – PADA 14 Mei lalu, Turki menyelenggarakan pemilu, yang menurut laporan The Economist sebagai pemilihan terpenting tahun ini, dengan partisipasi pemilih baru lebih dari 5 juta jiwa.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pemilu yang pada putaran pertama menghasilkan pemenang Erdogan ini diselenggarakan tepat menjelang genap satu abad negara itu. Bersama koalisinya, Koalisi Kerakyatan (Cumhur Ittifaki), ia berkomitmen untuk mempertahankan sistem presidensial.

Sementara itu, penantang terkuatnya dari oposisi Ketua Umum Partai Rakyat Republik (CHP) Kemal Kilicdaroglu dan Koalisi Kebangsaan (Millet Ittifaki) berkeras akan mengembalikan sistem konstitusi parlementer.

Secara peta politik, koalisi yang terbentuk tidak lagi mencerminkan fraksi ideologis. Partai petahana, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), berkoalisi dengan Partai Gerakan Nasionalis (MHP) yang secara ideologis justru dekat dengan partai oposisi CHP. Adapun pada koalisi oposisi terdapat partai beraliran garis kanan keagamaan, Partai Saadet, yang memiliki kesamaan genealogis politik dengan AKP.

Kontradiksi ideologi dalam koalisi menjadikan kontestasi politik Turki nir-ideologi. Namun, itu tidak semata mengesampingkan fragmentasi politik yang tetap berwarna. Isu demokratisasi, kesejahteraan, dan identitas tetap menjaga rivalitas partai-partai di Turki.

Yang menarik, sejak polarisasi domestik semakin menguat 3-4 tahun lalu, sekularisme cenderung tidak lagi menjadi anatema dan variabel pemenangan. Partai petahana AKP secara tegas menyatakan tidak akan mengubah konstitusi sekuler mereka. Di sisi lain, dalam sebuah kesempatan, Ketua Umum CHP Kilicdaroglu, yang merepresentasikan wakil Kemalisme tertua, menegur anggotanya yang berteriak di pengadilan tinggi negara mengkritik hakim berhijab. Menurut Kilicdaroglu, sekularisme asertif yang simbolik sudah tidak relevan dan tidak produktif secara politik untuk harmonisasi sosial.

Janji kesejahteraan

Salah satu hal menarik yang dapat diamati dari hasil pemilu putaran pertama lalu (Erdogan 49,5%, Kilicdaroglu 44,96%, dan Sinan Ogan 5,25%), isu kesejahteraan tampaknya tidak menjadi variabel pemenangan yang menentukan. Meskipun setidaknya lima tahun terakhir ini tidak memberikan epilog yang diharapkan, Erdogan tetap sulit dikalahkan. Inflasi Turki menjadi yang tertinggi kedua di dunia setelah Argentina. Berdasarkan data Freedom House, indeks demokrasi di Turki juga menurun. Pemenjaraan terhadap lawan politik dan jurnalis menjadi indikasi kuat.

Krisis ekonomi yang dimulai sejak 2018, penurunan demokrasi, penanganan pandemi, penanggulangan bencana, serta masalah imigran menjadi isu-isu yang selalu dikritik dan dimanfaatkan oleh kelompok oposisi. Menjelang pemilu, bersama enam partai koalisinya, yakni CHP, Partai IYI, Partai Saadet, Partai Demokrat, Partai Demokrasi dan Progresif (DEVA), serta Partai Gelecek, Kilicdaroglu menjanjikan kesejahteraan yang lebih mengena ke masyarakat Turki dengan menggunakan isu identitas. Pada sebuah cuitannya di Twitter, Kilicdaroglu mengkritik kebijakan yang terbuka terhadap imigran. Menurutnya, kepentingan masyarakat Turki perlu didahulukan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *