Kultum 113: Hukum Turut Merayakan Natal dan Tahun Baru (Bag. 3)

Hukum Turut Merayakan Natal dan Tahun Baru
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.id – Sungguh telah banyak sekali dalil-dalil dari Kitabullah dan as-Sunnah serta atsar-atsar yang shahih yang melarang untuk menyerupai orang-orang kafir di dalam hal yang menjadi ciri khusus mereka. Satu dari sekian banyak larangan itu adalah ‘larangan’ menyerupai mereka dalam perayaan hari-hari besar dan pesta-pesta mereka.

Bagi mereka, ‘natal dan tahun baru’ dan hari-hari besar (raya) lainnya, secara terminologis adalah sebutan bagi sesuatu yang termasuk di dalamnya setiap hari yang datang kembali dan terulang yang diagungkan oleh orang-orang kafir. Kadangkala, sebutan demikian merupakan sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan.

Dengan demikian, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di tempat-tempat atau waktu-waktu seperti ini adalah termasuk hari besar (‘Ied) mereka. Karenanya, larangannya bukan hanya terhadap hari-hari besar yang khusus buat mereka saja. Selain itu, setiap waktu dan tempat yang mereka agungkan sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam agama Islam.

Demikian juga perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya. Itu masih ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya, yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja. Hal ini juga telah disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Salah satu ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar mereka adalah firman Allah,  وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ  “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (QS. Al-Furqan, ayat 72).

Ayat ini merujuk pada salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Para hamba Allah tersebut misalnya Ibnu Sirin, Mujahid, dan Ar-Rabi’ bin Anas, yang menafsirkan kata “az-Zuura” (di dalam ayat tersebut) sebagai ‘hari-hari besar orang kafir’. Di dalam sebuah hadits yang shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar (‘Ied) untuk bermain-main.

Lalu Rasulullah bertanya, “Dua hari untuk apa ini?”. Mereka menjawab, “Dua hari di mana kami sering bermain-main di masa Jahiliyyah”. Lantas Rasulullah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَ لَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا

يَوْمُ الأَضْحَى وَيَوْمُ الْفِطْرِ

Artinya:

Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya, Iedul Adha dan Iedul Fithri (Imam Ahmad, no. 11595, 13058, 13210).

Dari hadits ini bisa dipahami bahwa sebelum datangnya Islam, ada hari-hari yang merupakan perayaan di masa jahiliyyah. Hari-hari itu telah digantikan dengan dua hari perayaan, yaitu hari Iedul Adha dan Iedul Fithri. Berdasarkan hadits itu pula, maka cukuplah bagi kaum Muslimin dan Muslimat dengan dua hari raya tersebut.

Lebih dari itu, terdapat hadits yang shahih dari Tsabit bin Adl-Dlahhak Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sembari berkata,

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *