Belajar Kepemimpinan dari Buya Hamka dan Kiai Sjaichu

Kepemimpinan Buya Hamka dan Kiai Sjaichu
Buya Hamka dan Kiai Sjaichu
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Dalam milad Ittihadul Muballighin pada tahun berikutnya yang diperingati di Gedung Graha Purna Yudha Jakarta, Buya Hamka mengucapkan hal yang sama serta sikap dan teladannya juga nyata. Kiai Sjaichu mengakui bahwa Buya Hamka bukan hanya menyandang atribusi pimpinan Masjid Al-Azhar, Ketua Umum MUI, atau pimpinan Muhammadiyah tapi pimpinan umat Islam secara keseluruhan. Buya Hamka tidak memandang golongan atau aliran. Tidak heran jika banyak orang menaruh simpati dan kagum padanya, termasuk Kiai Sjaichu yang saat itu juga termasuk pimpinan di NU. Itulah jiwa kepemimpinan yang bisa diteladani dari Hamka, yakni tidak pernah membedakan ormas. Menjalin ukhuwah atau persaudaraan sesama muslim meskipun beda haluan.

Jiwa kepemimpinan Hamka lainnya tampak saat dirinya diminta menjadi Imam Shalat Jenazah Bung Karno, Presiden pertama RI. Bung Karno pernah memenjarakan Buya Hamka namun Hamka tetap ikhlas dan mau menshalatkan jenazah alm Bung Karno. Bagi Kiai Sjaichu, inilah manifestasi ajaran Islam, mendahulukan kasih sayang daripada benci, mengutamakan maaf daripada dendam kesumat. Hamka mampu menempatkan ruang di mana politik dan di mana kemanusiaan harus berperan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kiai Sjaichu menganalisis soal kepemimpinan bahwa seseorang yang mempunyai kedudukan nomor satu, bertitel ketua, atau tokoh utama, tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai ‘pemimpin’. Ada dua pertanyaan yang perlu diajukan, yang pertama, apakah ia naik dari anak tangga bawah lalu ke atas, atau langsung dari atas saja? Pertanyaan kedua, apakah ia ‘manunggal’ atau menyatu dengan masyarakat atau orang yang dipimpin atau tidak? Pemimpin yang berasal dari anak tangga bawah pun, perlu diuji kembali. Apakah ia tetap konsisten dengan jalur perjuangannya setelah berada di atas? Karena, bagi Kiai Sjaichu, ada pemimpin yang hanya memanfaatkan anak tangga sebelumnya, setelah di atas ia tidak mengulurkan kasih sayang, enggan menengoknya lagi. Di sinilah tanggung jawabnya terhadap umat luntur dan rapuh.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *